37. denial

7.3K 992 38
                                    

"Pelecehan!" Raungan dramatis itu berhasil mengejutkan beberapa orang yang berada di balik meja kerja, mereka mengintip, lalu kompak merapatkan bibir. Tidak protes dengan keributan dua bocah, barangkali tengah adu jotos.

Cessa menyibak rambut menutupi sebagian wajah, nyaris saja terjatuh, tersandung kaki sendiri.

"Pelecehan?" Tirta menangkap cepat kerah belakang baju Cessa, melotot. "Mana ada. Jangan asal fitnah." Tirta berujar sebal bercampur panik mendapati mata pihak lain yang memerah seolah bersiap menangis.

Sembari menyembunyikan seringai licik, Cessa mengambil kesempatan Tirta yang lengah, lewat cara mencolok mata Tirta alhasil cengkeraman Tirta terlepas kemudian.

Cessa kembali berlari kabur, menuju pasti ruangan paling sudut di lantai atas ini, sementara di belakang Cessa tentu Tirta mengejar, jelas mengamuk.

"Aku nyari kalian." Cessa melirik geli Eros yang kaget, berjalan melewati ketiganya, Cessa lebih memilih bersembunyi di balik punggung tegap Agas karena Cessa sangat tahu Tirta tidak akan bersikap nekat.

"Tolongin aku dari monster. Masa, tadi Tirta tendang anuku, jadi namanya pelecehan, kan?" Cessa meremas ujung kemeja Agas, melongok sedikit melihat Tirta sudah berdiri di hadapan mereka dengan jarak beberapa langkah, rona muka bocah laki-laki itu mulai merah padam.

"Maksudnya apa?" Eros mendekat, tiba di sebelah sang adik Eros mengacak gemas rambut Tirta, menyipit curiga.

Tirta berdehem. "Kami saling pukul lagi." Dia mesem-mesem tipis, menyadari semua orang melihat ke arahnya pengecualian untuk Cessa. "Seperti biasa ... kami saling tendang, jambak, kayaknya pas kami bergulungan di lantai tadi, aku nggak sengaja tendang ke bagian yang seharusnya enggak boleh," jelas Tirta lugas.

Entah mengapa, giliran pipi Cessa yang merona. Memainkan jemari Cessa membalas berlagak sopan. "Ya, Gak papa, Kak Tirta beneran nggak sengaja."

"Bukannya hari ini kalian latihan?" Ucapan Kaizar kompak membuat Cessa dan Tirta tersentak, menjadi alasan mereka rusuh yaitu merebut ruangan anggar.

Cessa berdiri merapat pada Kaizar yang meraih lengannya usai mengisyaratkan Agas menyingkir.

"Kita mau ke mana?" tanya Cessa memahami gerak-gerik Kaizar hendak membawanya pergi.

"Pulang, latihan lo bisa diganti lusa," ujarnya terkesan mutlak.

Cessa mengangguk setuju, masih ada hari-hari lain menginjakkan kaki di gedung akuma. Cessa bebas hilir mudik.

"Tapi, cebong bubu berangkatnya sama gue jadi udah jelas pulang bareng gue, Kai." Chester berdiri memisahkan lalu meletakkan dagu di puncak kepala Cessa. "Iya, kan, Tuan Puteri?" Dengan senyum main-main telunjuk Chester menekan iseng pipi tembam Cessa.

"Cebong belum boleh pulang." Eros awalnya diam ikut nimbrung, meringis tertekan mendapati tatapan tak ramah Kaizar tertuju lurus ke arahnya, jarang-jarang dia dapatkan. "Mereka berdua harus liat chipnya dulu." Eros berdehem, memandangi Cessa yang berbinar penasaran.
   
 

  

***






Cessa teramat menyadari benda mungil di telapak tangan Tirta detik ini berbahaya, jika wajah Tirta terpana konyol sesekali memutar segi empat pipih tersebut, maka Cessa bergerak tak nyaman, seolah nyawanya berada di sana.

"Itu peledak, bodoh." Cessa berbisik sembari menyikut perut Tirta, menangkap basah Agas tengah melihat ke mereka spontan Cessa tersenyum, melambai ringan.

Di ujung ruangan Agas membuang muka, kembali berbicara pada Izal kemudian membuat Cessa cemberut. Dugaan Cessa makin kuat, kalau Agas membencinya padahal Cessa sendiri tidak pernah merasa melakukan kesalahan.

"Victor, Theo!" Tahu-tahu Tirta berteriak memanggil, mengabaikan bocah perempuan di samping yang langsung melotot. Bukan sekali Tirta berteriak, namun beberapa kali.

Dua anak kembar berlari memasuki ruangan secara bersamaan Tirta bersedekap.  

"Ini, namanya chip." Dia menunjukkan pamer, melirik Victor dan Theo berdiri cangggung di depannya. "Kak Ero bilang bakal dimasukin di bagian pangkal lengan kalian, udah jelas selamanya kalian berdua tetap jadi budak aku." Mata biru Tirta berkerlapan senang, tertawa, merangkul pundak Cessa.

Tirta mengerjap-ngerjap seakan baru sadar sesuatu dia menatap lamat Victor dan Theo.

"Kalian belum bersimpuh ke Princessa, aku nggak suka budak aku pelupa." Tampang Tirta berubah masam.

Lalu, keduanya serempak bersimpuh sembari berucap. "Salam hormat Princessa. Jelek, kurus kering menurut Tuan Tirta." Kepala saudara kembar itu semakin tertunduk dalam mendengar gelak tawa Tirta yang tambah nyaring.

"Bagus, aku suka." Bibir bocah laki-laki itu mengukir senyum menawan. "Hey, jangan marah. Aku bercanda." Jemari Tirta mengelus bawah dagu Cessa. "Nanti kamu dimakan setan, loh." Satu gebukan mendarat di bahu alhasil Tirta mengerang lirih.

Cessa meniup kepalan tangan kecilnya, bersiap untuk memukul lagi. Bocah sialan! Ingin sekali Cessa melemparnya ke neraka. 









***








Keraguan datang kesekian, tanpa bisa dihitung. Bagaimana jika dia bukan sosok yang Kaizar cari selama ini? Alasannya untuk tetap mempertahankan kewarasan menjadi sia-sia, berlapak dada menerima mimpi buruk tiap malam. Kaizar bahkan lupa, kapan tertidur nyenyak tanpa harus berakhir berteriak di dini hari.

Kaizar duduk di pojok bar, seloki dalam genggaman terangkat yang segera bartender tuangkan. Setelan gelap Kaizar seolah menyatu di penerangan remang-remang, butuh waktu mengenali sosoknya.

Terbukti dengan Chester berlari menghampiri, segelintir orang yang belum mabuk berat mengetahui keberadaan Chester dibuat penasaran, namun tak berani terus melihat ke mana arah tujuan Chester.

"Kai!"

Kaizar menoleh, mata menyipit kuyu menyambut tatapan Chester, barangkali telah lega karena menemukannya.

"Agas mana?" Kaizar bertanya serak. "Kalian itu bawahan gue di masa lalu sampai sekarang pun juga sama." Kaizar melirik muak wiskinya sedikit tumpah ke celana.

Sebagai balasan Chester justru terkekeh geli, meninju pelan pundak Kaizar. "Sekedar mengingatkan kalau Agas ansos." Chester memutuskan duduk di kursi sisi Kaizar. "Secara nggak langsung, lo minta gue panggil lo dengan gelar kebangsawanan," sambungnya.

Kaizar tertegun dan Chester menikmati keterdiaman Kaizar sembari meneguk wiski di seloki.

"Sabiru ...."

Detik itu juga Chester menunduk cepat, menyemburkan minumannya, lalu terbatuk-batuk.

Tidak merasa bersalah Chester yang mengap-mengap, Kaizar meneruskan.

"Gimana kalau ternyata kita salah..." Ada jeda sejenak, Kaizar menelan saliva getir. "Princessa bukan anuja, maksudnya dia bukan adik perempuan gue."










****



Catatan :







Kalo part ini votenya bisa 500, aku update lebih cepat! 

Tinggalkan vote dan komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya. Jangan sider ya.

Terima kasih

Gummy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang