45. benang merah

5.1K 690 32
                                    

"Aku punya mata, jadi bisa liat dan mata aku baik-baik aja, sama sekali nggak cacat." Cessa menjawab cerewet, melangkah berdampingan bersama Agas di lorong panjang istana. "Aku jelas liat Kak Aga cium dia!" lanjutnya.

Pipi Agas sontak merona untuk kesekian kali, perasaan malu hinggap bercampur dongkol mendapati raut wajah Cessa yang membicarakan itu kelewat tenang.

"Dia yang lo maksud itu lo sendiri, dungu. Pokoknya lupain adegan enggak senonoh tadi!" Agas menyergah, tangan terkepal di sisi tubuh, menahan diri tidak meraup gemas muka Cessa.

Cessa agak ciut. "Iya, maaf. Aku nggak paham apa-apa kok," jawabnya pelan.

Pandangan Cessa tertuju lurus pada pria tegap mengenakan setelan senderhana mirip Agas tersebut yang berjalan tak jauh di depan. Aksi membuntuti mereka belum usai entah sudah berapa lama melakukannya.

Agas bungkam. Saat Cessa terbangun ... sudah pasti ingatannya kembali, Cessa boleh saja biasa-biasa sekarang, namun bagaimana jika keduanya telah sama-sama keluar dari memori dalam bentuk lucid dream ini.

Agas berdehem. "Umur berapa lo mati? Jujur, tampang lo kaya remaja ingusan," kata Agas mengawali obrolan kembali, merasa terganggu dengan ekspresi sendu Cessa.

"Lima belas tahun, jatuh dari lantai jpo terus dicipok rombongan moge." Cessa membalas cuek.

"Sebenarnya itu bagian dari rencana kami, Satu-satunya cara manggil jiwa lo, cebon--"

"Apa?!"

"Gue belum selesai ngomong."

"Hm."

"Dua tahun lalu Kaizar bilang adik perempuannya bereinkarnasi, Kaizar minta kami percaya dan bantuin dia sementara kami berdua udah beneran gak percaya." Agas memandangi Cessa.

"Itu jadi alasan pertama kalinya Kai marah, tiba-tiba dia ungkit gelar kehormatannya yang bikin Chester sadar kalo dia masih jadi bayang-bayang Kaizar aliasnya jongos." Bibir Agas mengulas senyum sinis yang entah mengapa membuat Cessa kesal.

"Papa Teter bukan jongos!" Kepala Cessa menggeleng. "Selama aku nonton memori tadi di mana Papa Teter dipanggil Sabiru jelas banget kalau dia pengawal terhormat, pelindung. Bisa juga tanpa sepengetahuan Kak Aga mereka ternyata sahabatan dulu."

Agas terhenyak apalagi Cessa mengambil langkah cepat, meninggalkannya seorang diri kemudian padahal dia baru menceritakan sebagian.



***





"Pergi." Nayanika menghadap Adriel, berhenti di depan pintu kamar yang masih tertutup rapat. "Cukup sampai sini kamu mengantarku, panglima Adriel. Khusus hari ini aku memaafkan tindakan kurang ajar kamu itu." Dia melanjutkan bernada dingin.

Adriel terkekeh. "Jika lain waktu saya kembali melakukannya bagaimana, Tuan Putri?"

Nayanika berdecak. "Percayalah, di balik gaun tidur aku kenakan sekarang ada belati yang sewaktu-waktu bisa saja menancap di perut kamu."

Tawa Adriel makin keras, lagaknya seolah memang menantang berhasil membuat Nayanika marah. Buku jari terkepal, tinjuannya ingin menargetkan pipi kanan Adriel, namun Adriel keburu gesit menahan.

"Satu hal yang harus anda tau ..." Adriel berujar berbisik, menatap tepat mata kelabu bening Nayanika yang selalu dia kagumi.

Memastikan hanya mereka berdua di lorong kamar sang Tuan Putri, Adriel menghapus jarak tersisa, merapatkan diri. Menikmati muka memerah Nayanika di antara penerangan batu alam melekat di langit-langit istana.

"Setiap selesai berperang, Anda yang sangat ingin saya temui, alih-alih merayakan kemenangan," katanya gamblang sambil beralih memegang pergelangan Nayanika, meremas lembut.

Gummy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang