Agas melempar tubuh kecil Cessa ke permadani tebal di depan televisi, menahan kaki Cessa hendak menendang wajahnya pada detik yang sama Agas tersenyum licik.
"Badebah, kamu, Adri--aduhhh!" Cessa menjerit, tatapan nyalang karena Agas barusan menjitak bibirnya.
"Bagaskara bukan Adriel. Itu cuma nama masa lalu." Kata-kata Agas sarat penegasan dari raut wajah tampak tidak suka.
Cessa berlagak tuli, masih menyebut Adriel meskipun tidak lagi sekeras tadi, dia meronta mencoba lepas, sesekali memaki lirih.
Agas menyeringai, beralih mencengkeram pinggang Cessa lalu sekonyong-konyongnya menggelitiki.
Cessa tidak siap tertawa nyaring dengan gerakan semakin beringas. "Bre ... ngsek, aduh. Bajin-- hahahaha dasar kont..."
"Eh, Mulut!" Agas melotot, cepat-cepat membekap bibir Cessa lewat tangan kanannya.
"Jangan pegang-pegang, aku udah bilang kan tiap inci tubuh kamu itu penuh karma buruk, bahasa kasarnya kutukan." Cessa berbisik dingin disela Agas yang panik.
"Ya, makasih. Gue baru kepikiran soal itu." Agas menyergah sarkas.
Muka Cessa memerah. Jika kaki tidak bisa menendang maka dia punya tangan dan kepala, posisi Agas menaungi, Cessa ambil kesempatan mencolok mata Agas lalu menyundul kening itu. Belum cukup dia mendorongnya kuat-kuat.
Agas terjungkal ke belakang, giliran Cessa yang menyeringai merasa menang dengan grasah-grusuh berguling, merangkak menjauh.
"Jujur, gue dendam dikit sama lo." Agas bergumam, tidak mengizinkan sang bocah perempuan pergi apalagi postur keduanya jelas jomplang, Agas menyambar gesit kaki kiri Cessa.
"Seharusnya kamu bertindak sopan!" Cessa membentak.
"Sopan gimana ya? Bahasa lo jangan campur-campur, cebong." Agas terkekeh geli sambil menepuk atas perut Cessa usai membalikkan badan Cessa kembali menghadap padanya.
Kali ini Agas tidak mau kecolongan, sengaja menjaga jarak namun pegangan di sepasang kaki Cessa mengerat.
"Karena bagaimanapun aku ini seorang pu--"
"Itu masa lalu, seribu tahun silam. Ingatan lo balik bukan berarti lo terobsesi sama indentitas itu." Agas menyela kasar, mulai muak. "Nanti setelah Kaizar pulang dari kampus lo perlu bercermin dari dia."
Cessa terdiam.
Dua orang tersebut saling tatap dalam jangka lama.
Agas termenung. Seandainya Cessa bereinkarnasi di dimensi yang sama, barangkali Agas lihat sekarang seorang gadis beberapa tahun lebih muda, entah kenapa di siklus kehidupan terakhir disaat jiwa Cessa sudah menyatu justru terlahir kembali di dimensi berbeda.
Dua tahun lalu Kaizar panik usai menyadari ada kesalahan sama halnya Chester sementara Agas sendiri krisis kepercayaan karena lelah selalu berakhir bundir di kehidupan sebelumnya.
"Jiwa lo koyak, hancur ... setelah Kaizar lakukan ritual yang ada di buku kuno perpustakaan istana." Agas berbisik, mengelus pipi berlemak sang bocah perempuan.
"Aku udah tau. Kamu nggak harus jelasin itu berulang-ulang kali," jawab Cessa datar. "Lagian aku nggak memintanya. Andai aja Kak Geran nggak nekat, pasti aku udah berada di nirwana."
Agas seketika terbahak, entah apa yang lucu. Matanya sampai menyipit dan itu menjadi tawa paling keras selama dia hidup dua puluh tahun, terdengar tiap sudut ruang tengah mansion Chester.
"Bajingan, tutup mulut kamu!" Cessa tersinggung.
"Nirwana?" Agas menyentil dagu Cessa. "Nirwana nggak akan nerima perempuan congkak kaya lo. Kenyataannya lo lebih cocok di pojok neraka."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gummy [END]
FantasyCessa dibuat kalang kabut usai menyadari keanehan menimpa dirinya. Alih-alih mati usai jatuh dari lantai jpo, Cessa malah memasuki tubuh anak balita berusia lima tahun, mana berada di tengah hutan lagi! **** Mulai : 29.09.2023 Akhir : 02.05.2024 ⚠D...