43. pintu-pintu memori (c)

5.7K 748 66
                                    

Nayanika bersedekap berbeda dengan Sabiru berdiri tiga langkah di belakang sempat membungkuk hormat, menjawab sekiranya tiga pertanyaan seseorang yang duduk acuh tak acuh di singgasana.

Seperti Cessa duga, rupa itu dapat dia kenali, tapi bedanya cara berpakaian terkesan asing di mata Cessa kali ini. Aura keningratan terlalu kental hingga siapapun secara naluriah akan menghormati, pengecualian untuknya versi dewasa di sana, tengah berdiri di undakan tangga singgasana menghadap malas-malasan.

"Aku bisa merantaimu di kamar agar kamu berhenti kabur-kaburan."

"Tidak keberatan sama sekali, itu pun kalau kamu berani, Yang Mulia."

Suaranya terdengar sarkas di telinga Cessa pada detik yang sama Cessa menyempatkan diri melirik Agas kebetulan tersenyum tipis.

"Kak Aga."

Agas menoleh.

"Aku udah nggak kesakitan."

"Untuk sementara, sakit itu bakal datang lagi. Anggap aja begini, memori lo tentang masa lalu masih dikelilingi tembok tinggi tiap kita ke tempat baru temboknya retak. Lo dipaksa mengenang, mengingat ... lama-kelamaan temboknya runtuh."

Bulu kuduk Cessa merinding.

Agas menilik dalam mata kelabu Cessa yang masih basah. "Gue mau ini cepat selesai, semuanya tergantung lo."

Cessa sontak menunduk sembari menautkan jemari, membalas lewat bisikan kemudian. "Aku bakal berusaha dan maaf."

"Jangan minta maaf, seorang Putri dilarang berkata maaf pada Panglima Perang di kerajaannya." Agas berkata gamblang tanpa sadar menjawab penasaran Cessa, siapa Agas sebenarnya.



***



Dia berbaring diantara tumpukan bantal. Kamarnya berdesain kuno, namun tetap menyuguhkan keindahan di mana batu alam menempel di dinding sebesar kepalan tangan orang dewasa sebagai penerangan.

Jika di lihat dari jarak jauh hanya berupa pijar ungu dan seolah-olah ikut menyimpan sisi misterius. Perabotnya yang minim makin luas lah kamar itu.

"Aku tidak akan melarikan diri. Aku berjanji." Nayanika merebah miring, mata menyipit oleh sinar bulan yang tembus ke kamar, mengingat tirai jendela tidak tertutup semestinya. "Jangan berdiri di sana, kamu mau aku mati kedinginan, Yang Mulia."

"Kita sekarang hanya berdua." Dia mencodongkan sedikit tubuh, menutup jendela, lalu berbalik. Mata berwarna serupa itu saling pandang. "Panggil aku seperti biasa, Anuja."

"Hm."

"Kamu terluka?"

"Sekarang tidak. Tidak tau nanti."

"Apa yang kamu cari di luar sana?"

"Aku pencinta kebebasan, bayi merangkak pun tahu itu, Kakak."

Geran tertawa kecil sambil mendekat, tiba di sisi ranjang tangan Geran terulur meraih perhiasan mungil tertinggal di surai Nayanika.

"Besok aku ingin kita minum teh bersama." Dia berkata pelan, memandangi sang adik mulai terpejam, Geran berinisiatif menarikkan selimut sampai dada.

"Adriel kembali, tapi kali ini aku tidak menyambut dengan formal karena para serdadu tetap berada di kamp," ujarnya.

Mau Cessa sedekat apapun, menguping sesukanya, kehadiran Cessa mustahil disadari makanya dia nekat duduk di atas ranjang dengan bertopang dagu, terpesona kesekian kali.

"Jadi, Kak Kaizar beneran saudara aku?" Cessa bergumam linglung, tatapan tertuju ke Agas lebih banyak diam semenjak mereka berpindah tempat.

"Terus kenapa muka Kak Aga tegang gitu?" Atensi Cessa terbagi, belum sempat menghampiri Agas berdiri di ujung ranjang lain sahutan dari wujud masa lalunya itu membuat Cessa mendadak pias.

"Jika Adriel datang tanpa serdadu berarti ada kabar buruk yang akan dia sampaikan."

Lagi-lagi sakit itu muncul, satu tangan Cessa kontan menyentuh bagian ubun-ubun kepala bagaikan diremas kuat.



***

"Lo bisa bangun?" Agas berjongkok, jarang-jarang sukarela dia lakukan. Tatapannya sedikit pun tak beralih sejak Cessa mengerang dibeberapa kesempatan menangis terisak.

"Bisa, tapi nggak bisa jalan." Cessa menjawab parau, detik itu juga baru menyadari bahwa mereka tidak lagi di kamar melainkan taman bunga.

"Aku baru merem sebentar dan sekarang langitnya udah terang, secepat itu." Tangan kanan Cessa terjulur, alih-alih memegang lengan Agas yang ada Cessa menyentuh udara alhasil dia melotot horor.

Agas mendesus geli. "Bukannya lo tadi sempat bilang kita kaya hantu." Agas kembali berdiri menjulang. "Bangun, cebong. Kita harus ke sana!" sambungnya tegas.

Cessa patuh, mati-matian menahan nyeri di beberapa bagian tubuh termasuk kepala sekaligus di mana jantung berada.

Bayaran dari Cessa tetap membuntuti Agas meski sempoyongan barangkali sesuai apa yang dirinya saksikan, penasaran Cessa meletup menjadi suatu kepuasaan, mendapati langsung sosok Agas di masa lalu.

"Itu Kak Aga?" Langkah kaki Cessa bertambah cepat saking antusias, melewati Agas. "Aku juga makin cantik." Dia mesem-mesem, memastikan posisi sudah strategis Cessa berhenti.





***


Nayanika mengenakan gaun hitam, rambutnya disanggul elok, permata berbentuk sulur tanaman rumit menghiasi puncak kepala layaknya benda itu sebuah mahkota.

"Kenapa?" Dia bertanya halus, mengamati tiga orang di hadapan sebagai pembatas berupa meja.

"Ganti pakaianmu, aku tidak menyukainya." Geran berujar datar dengan aura dingin menyelimuti. "Kamu ingin pamer." Dia melirik malas tulang selangka sang adik.

"Aku marah bukan pamer!" Nayanika menimpali setengah dongkol. "Adriel, bisa-bisanya kamu pulang membawa kabar buruk dan kamu, Yang Mulia, aku tidak mengizinkan kamu pergi."

Geran tertegun.

"Kamu manusia serakah yang pernah aku kenal." Nayanika menelan saliva, sekonyong-konyong mata gadis itu mulai memerah oleh amarah. "Berhenti memperluas kekuasaan!" Dia mencengkeram tepian meja.

"Seingatku tak ada agenda bertengkar hari ini, jadi lebih baik nikmati tehmu. Tolong, bersikap sopan lah." Geran melirik cangkir porselen Nayanika yang masih penuh.

"Kalah jadi abu, menang jadi arang!"

"Kata-kata yang bagus."

Nayanika memasukkan gula batu ke cangkir tehnya sambil berkata ketus. "Padahal kamu sudah berjanji, tidak akan turun tangan dalam berperang selama satu tahun ini dan lihatlah tanpa malu kamu melanggarnya."

"Waktu itu Yang Mulia hanya main-main, Tuan Putri," celetuk seseorang lalu beranjak dari duduk. "Maaf, tidak seharusnya kami satu meja bersama kalian."

"Adriel." Nayanika memanggil, menghentikan si punya nama yang hendak mundur. "Percayalah, aku lebih suka kamu datang membawa kabar baik."

"Saya juga membawa kabar baik." Adriel tersenyum tipis.

Kening Nayanika berkerut begitu pun Geran sementara Sabiru satu-satunya minim ekspresi di sana.

"Para pemuja Anda bertambah banyak di benua seberang, segelintir pangeran terkuat berniat meminang Anda setelah Yang Mulia Putra Mahkota resmi naik ke atas tahta," lanjutnya lugas.

Cessa di antara orang-orang itu melongo sementara Agas mulai salah tingkah.

Aku ingat, apa yang aku katakan padanya setelah itu yang membuat Kaizar nyaris membutungkan tanganku.









****






Tinggalkan vote dan komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya. Jangan sider ya.

Terima kasih

Gummy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang