40. letupan emosi

5.6K 825 42
                                    

Eros mengerjap, ekspresinya tampak kaget betulan. "Bentar, lo ngomong apa tadi?" Eros meraih lengan Valeria, menariknya agar berdiri.

Sudut mata Eros melirik Cessa terdiam kaku, wajah bulat itu tersirat tegang membuat Eros tak nyaman kemudian.

"Lo salah, Vale." Sadar bahwa pemikiran gadis bersamanya kacau, dia menyesal mengajak Valeria ke stadion Losia menemui Cessa dan sang adik, padahal butuh keberanian setengah jam lalu menghampiri Valeria yang berada di bahu jalan.

Kabar kedatangan Valeria di ibukota, Eros mendapat bocoran dari informan orang-orang bekerja di bawah kaki Chester, dan pagi ini mereka bertemu secara tidak sengaja.

"Iya, dua tahun lalu gue emang salah." Gadis berperawakan tinggi itu mengangguk setuju sembari menyentak cengkeraman Eros, telunjuk Valeria mengarah lurus pada Cessa.

"Dia juga termasuk penyebab Violet terbunuh, bisa-bisanya lo enggak sadar itu!" Valeria melanjutkan dengan bentakan nyaring.

Eros terpejam, ruas-ruas jari terkepal hingga memutih. Menerima saja gebukan Valeria ke dadanya berulang kali.

"Kembaran gue mati gara-gara bocah itu!" katanya menjerit.

"Bukan Cessa, Valeria. Jaga omongan lo, gue mohon." Eros menimpali pelan. "Penyebabnya orang yang di depan lo sekarang, gue yang pantas di benci di sini." Eros menyambar sepasang punggung tangan Valeria, memegangi erat-erat.

"Bajingan, lepas!"

"Gue anterin lo pulang."

"Enggak. Gue belum selesai bicara sama anak pungut kalian itu!"

Eros berusaha untuk tidak bertindak kasar, telinga makin lama sakit mendengar teriakan tajam Valeria. Beruntung mereka berempat tidak menjadi pusat perhatian, mengingat dia menggunakan privilese memasuki stadion terbesar di kota.

"Asal lo tau  ..." Eros mendesis, kesabaran bagaikan mulai diujung tali, sengaja mengungkung tubuh kurus Valeria tambah dekat dengannya, Eros berbisik penuh penekanan. "Tujuan si Ditya brengsek itu cuma Violet, Violet seorang. Dan lo harus tau, Cessa malam itu malah nawarin diri untuk ikut. Princessa korban."

Satu tamparan menghantam hebat pipi kanan Eros kemudian.

"Bajingan, kata-kata lo beneran jahat banget, Eros!" Mata Valeria berkabut air, kakinya mengentak-entak berang. "Sialan, tarik ucapan lo tadi. Kakak gue bakal sakit hati dengernya!" Valeria meremas kaos yang Eros kenakan.

Mengabaikan pipi terasa panas, Eros justru lebih tertarik menilik lekat tiap perubahan di mimik muka Valeria. Dia berpikir jika ingin melihat rupa Violet versi dewasa, bukan kah cukup memandangi gadis ini.

Eros menelan saliva, perasaan berselimut duka membungkus hati dan dalam situasi sekarang Eros sadar tidak seharusnya memikirkan dukanya.

"Gue yakin lo udah dikasih Chester video kejadian di kapal itu terus rekaman suara yang berasal di jam tangan Vio."

"Mana ada!"

"Jangan boong, Vale."

"Semuanya salah dia, bocah yang kalian panggil Princessa itu." Valeria tetap dengan kesimpulan keras kepalanya hendak kembali mendekati Cessa, namun Eros terlalu cepat menahan. "Gue cuma mau bicara, berdua!"

Eros tidak akan membiarkan itu terjadi, melempar isyarat pada Tirta membawa Cessa pergi.



***


Sudah lama sekali Cessa tidak melihat sorot ketidaksukaan yang tertuju langsung ke arahnya atau mungkin binaran mata itu telah tahap kebencian.

Cessa mual, sangat. Perut bagaikan diubek-ubek. Mengabaikan Tirta mondar-mandir gelisah karena dia menolak diajak minggat, Cessa memilih membungkuk.

Semua makanan yang Cessa telan semalam, pagi ini ... semuanya keluar. Cessa muntah-muntah hebat tanpa jeda.

"Astaga, kamu kenapa?!" Pekikan heboh Tirta membuat Cessa sempat tergelitik geli.

Tirta berdiri lebih dekat, berinisiatif mengelus punggung si bocah perempuan yang tentu dibuat kaget kemudian.

"Keluarin semuanya, kayaknya kamu sakit." Lagak Tirta bagaikan seorang kakak protektif. 

Diam-diam Cessa menyentuh rambut, ingatan itu masih terkenang jelas di mana pertemuan pertama mereka ... Valeria mengepang rambutnya dengan disaksikan Eros dan Violet.

"Princessa!"

Badan Cessa berbalik, menghadap Kaizar entah sejak kapan datang dan ikut berada di pinggir lapangan.

***

Kaizar membersihkan hati-hati dagu Cessa lewat sapu tangan yang selalu dia bawa di saku celana.

"Jangan tersingung sama kata-kata Valeria." Kaizar berbisik, mengamati rupa bulat si bocah perempuan. Mata jelaga tersebut terkesan kosong membuat Kaizar agak tertohok.

Cessa membuang muka. "Aku gak paham yang diucapin Kak Vale," sahutnya berlagak tak acuh.

Kaizar tersenyum kecil. "Tapi menurut gue ... lo paham soalnya Princessa ini pintar, bijak. Bisa membedakan mana yang baik dan buruk, gue belum pernah ketemu anak kecil persis kaya lo." Dia berbicara kalem sambil meraih jemari kecil Cessa yang berkuku pendek lalu mengecupnya lembut.

Cessa tercekat. Berlatar suasana senyap dan Cessa duduk di bagian tengah tribun sementara Kaizar berjongkok di depannya mengantarkan Cessa mulai merinding.

"Kak Kai kerasukan ya?"

"..."

"Baru kali ini ngomong panjang ... bentar, udah pernah belum, sih? Aku lupa."

Kaizar tidak mampu menyembunyikan tawanya, garis wajah makin melembut, Kaizar berpindah meremas kedua pergelangan tangan Cessa tanpa menyakiti.

"Tolong, bahagia." Hanya bibir Kaizar yang bergerak tanpa suara, mereka saling tatap dalam jangka lama. ~Aku kakakmu~ pada akhirnya Kaizar kalah, belum siap mengatakan karena Cessa barangkali tidak akan percaya.

***

Valeria menghapus kasar air mata di pipi, mati-matian tidak menangis lagi. Kaki panjang Valeria melangkah berat menuju gerbang taman pemakaman, sosoknya yang sepampai tersirami langit sore.

Dia merasa ini benar-benar tidak adil. Semua ucapan Eros tadi pagi berhasil menyinggung. Jika Violet masih hidup, Valeria yakin detik itu juga Eros digampar Violet bolak-balik.

"Bukan cuma lo yang butuh bicara ke cebong, gue juga butuh bicara. Kita berdua." Sekoyong-konyongnya suara itu sukses mengejutkan Valeria yang memekik jantungan.

Valeria mendongak ragu.

"Oh, udah bisa jalan." Teramat jelas jika itu basa-basi belaka. Bibir pucat Valeria tersenyum kecut membalas sapaan Chester. Sepertinya hari ini dia bakal menampar dua orang.








****


Tinggalkan vote dan komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya. Jangan sider ya.

Terima kasih

Gummy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang