36. chip

7.4K 1K 35
                                    

"Potongan kue pertama tentu buat diri aku sendiri." Setelah berujar, Chester langsung memasukkan ke dalam mulut, melirik cengar-cengir kedua orang tuanya yang kompak memasang muka pasrah.

"Terus potongan kedua pasti Opa dan Oma!" Cessa duduk di seberang menunjuk heboh. "Jadi, setelah ini kasih aku duit karena tebakan aku benar." Dia bertopang dagu kemudian.

"Nanti Oma kasih duit." Sasmita menyahut lembut sembari menerima uluran piring kue dari Chester.

"Gak sangka cebong tumbuhnya jadi mata duitan," timpal Eros terkekeh.

Si anak perempuan tersipu malu. "Makasih Oma." Lalu, menyikut lengan Eros yang duduk tepat di sebelah kiri sementara sisi lain Kaizar sedari tadi konsisten jadi penonton kalem. 

"Makanya pas aku ultah nanti, lebih baik Papa kasih aku hadiahnya duit dua gepok." Cessa berbisik dengan kerlingan.

"Sekarang juga bisa." Eros mengacak gemas rambut Cessa. Belum sempat Cessa kembali bicara, deheman Chester membuat Cessa mau tak mau harus bungkam.

Di tempatnya Chester menatap geli ekspresi cemberut Cessa. Dia kembali berdehem, padahal atensi orang-orang yang mengelilingi meja di taman belakang itu sudah tertuju pada Chester sepenuhnya.

"Rencananya potongan ketiga kue ini buat Valeria, tapi Valeria menolak datang jadinya buat lo aja, cebong bubu." Chester mengisyaratkan Cessa mencodongkan tubuh yang segera Cessa patuhi, menerima suapan sepotong kue black forest.

Usai menelan bagian kuenya, Cessa buru-buru bertanya penasaran. "Kenapa Kak Vale nolak datang?"

"Mungkin karena dia benci gue," jawab Chester, menyadari suasana berubah canggung termasuk sang Mama yang mukanya bertampang masam kemudian, Chester menyambung enteng. "Aku suka Valeria, sangat. Cebong bubu bahkan peka." Chester meraih punggung tangan kanan Sasmita, mengurut halus.

Cessa yang disebut hanya bisa tergelak hambar sembari mengangguk berulang-ulang, pasalnya dari tatapan Chester minta didukung. Barangkali Sasmita kategori orang tua yang tidak merestui hubungan anaknya.



***



Cessa membenarkan ikatan rambut, melangkah pasti memasuki ruangan anggar seiring menikmati jantungnya yang deg-degan, tak sabar. Menebak-nebak siapa yang akan melatih bela dirinya hari ini. Intinya Cessa bersemangat sekali.

"Oy!" Sapaan lumayan keras itu bertepatan Cessa meminjakkan kaki di ambang pintu, wajah Cessa langsung merengut mengenali sosoknya.

Cessa menghampiri pongah, menyipitkan mata bahwa Tirta tidak seorang diri. Cessa menolak mentah saat lengan sang bocah laki-laki hendak merangkul.

Tidak kehabisan akal, Tirta beralih mengelus bawah dagu Cessa sekilas dengan satu tangan yang lain. "Jangan sendirian, nanti diculik wewe gombel," katanya bernada menyebalkan.

Sorot mata Cessa makin sinis, mendorong tubuh Tirta sekuat tenaga supaya menjauh, Cessa tidak terlalu suka tiap berdiri berdampingan, merasa tertampar oleh kenyataan jika dia pendek.

Postur tubuh mereka berdua tidak lagi serupa. Tirta mulai menunjukkan tanda-tanda calon tiang listrik berjalan aliasnya berperawakan tinggi, belum lagi Tirta tak sepolos dulu. Mulutnya luar biasa jahanam sekarang.

"Victor, Theo ..." Cessa berjalan melewati Tirta, kening berkerut dalam mengamati dua anak laki-laki yang ke mana-mana memang selama dua tahun ini mengekori Tirta, katanya mereka bertiga berteman. Namun, bagi Cessa selama ini dia lihat, Tirta memperlakukan saudara kembar itu jauh dari kata manusiawi.

Rupa Victor dan Theo mirip Ditya. Pembunuh Violet. Cessa membatin miris, di sela langkah kaki yang lama-kelamaan meragu untuk mendekati bahkan Cessa tidak protes kala Tirta mencengkeram lengannya agar mundur kemudian.

"Hari ini, aku yang akan latihan."

"Apa?!" 

"Aku yang latihan di sini dan kamu cari ruangan lain, kalau gak salah yang nemenin kamu nanti Kak Rey, maksudnya Kak Izal."

"Enggak bisa!"

Cessa bersedekap, menatap Tirta dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tirta di hadapannya mengenakan pakaian putih taekwondo.

Anak delapan tahun itu menyipitkan mata. "Giliran kamu yang ngalah, oke? Masa, kita harus gelut lagi kaya sebelumya." Dia menepuk-nepuk puncak kepala Cessa penuh belas kasih sembari mengulas senyum paksa.

Bukan Cessa kalau menurut, makanya lima detik selanjutnya Cessa merebahkan diri ke matras tersusun sekian banyak di atas lantai, kaki terbuka lebar begitu pula tangan terentang.

"Selagi aku nunggu Kak Izal, aku tiduran dulu," tutur Cessa kalem, bersiap terpejam.

Tirta menyaksikan berdecak, seperti yang sudah-sudah Tirta berjongkok lalu memegang pundak Cessa, menarik badannya. Tanpa peduli rengekan disusul sumpah serapah Cessa.

"Bangun, bocah. Mulut kamu beneran enggak ada moralnya." Tirta ganti menarik cepolan rambut Cessa. "Si anjing, malah nonjok!" Dia meraung dongkol bukan main, menyentuh rahangnya yang habis dibogem. Tidak sakit, tapi cuma kaget sekaligus menyesali gagal menghindar.


   

***
 

  

  



Tampang Eros berseri-seri tanpa malu menunjukkan padahal dia sendiri lupa kapan terakhir senang sungguhan.

"Makasih lo udah dukung ide gue." Eros tadinya berniat memeluk Chester, namun mendapati Chester melempar sorot penuh peringatan membuatnya sungkan.

Chester menyeret kursi kayu, menempatkan di tengah ruangan. "Biaya bikin chip peledak itu lumayan gede, tapi nggak papa ... setara sama manfaatnya." Chester menyeringai puas.

"Dengan benda ini enggak ada lagi yang namanya pengkhianat." Tangan kiri Chester merogoh saku, mengamati lekat kepingan mungil diapit dua jemarinya.

"Coba ngaca dan lihat muka nggak beradab kalian, minta di ludahin." Satu suara membalas ketus, Agas muncul di balik dinding detik berikutnya Kaizar menyusul, mendekati, meninggalkan Agas yang tetap diam di tempat.

"Jadi, chip itu yang maksud lo terhubung ke ponsel kita." Kaizar menatap Eros yang mengangguk kemudian, netra biru Eros berbinar bangga.

"Gue rasa, agak keterlaluan kalau misalkan dipasang di tubuh orang-orang yang kerja di bawah keluarga kalian apalagi kerja udah menahun," ujar Kaizar.

Cara bicara Kaizar terkesan menyalaraskan hati nurani tidak membuat Chester terkejut begitu pula Eros sementara Agas tersenyum samar, merasa berada di pihak yang sama dengan Kaizar.

"Gue gunain buat orang-orang yang beneran pengkhianat, memang pantas di hukum," jawab Chester berkilah.

Eros memilih bungkam, anti ikut campur jika nanti keduanya berakhir berdebat. Eros hendak beranjak lebih dulu tertegun dari sudut mata menangkap kehadiran Cessa bersama sang adik berlarian rusuh.












****




Catatan :


Maaf ya baru update :)) kalo part ini votenya bisa 500, aku update lebih cepat! 

Tinggalkan vote dan komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya. Jangan sider ya.

Terima kasih

Gummy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang