5. Opa dan Oma?

21.3K 1.7K 55
                                    

Kaizar membersihkan wajahnya dari remahan biskuit, agak basah karena sepertinya sempat di kunyah. Pada akhirnya Kaizar kembali duduk sambil melanjutkan makan siangnya yang tersisa setengah.

Lain halnya Cessa menganga terkejut, mata bundar itu melotot lebar seolah-olah hendak copot membuat Kaizar berhenti memasukkan nasi remes ke mulut.

"Kenapa?" tanyanya, memandangi heran sang balita yang terdiam pucat.

Cessa menggoyangkan gelisah kaki pendeknya di bawah meja. "Pa... kakak, enggak marah?" Cessa menyahut lirih.

Balasan tawa dari Kaizar kemudian menyisakan Cessa yang terpana. Pemikiran paranoid, jika dia bakal dicubit atau rambutnya di jambak setelah melakukan kesalahan, bagaikan tersapu angin.

"Kalau gue marah berarti gue bodoh, gue nggak mungkin marah sama anak kecil," ujar Kaizar lempeng.

Cessa mengerjap, diam-diam semakin menyakinkan Cessa bahwa tidak semua orang itu seperti anggota keluarga Tantenya di kehidupan dulu.

"Makasih, Kakak!" Cessa tersenyum lebar sampai matanya menyipit, tangan Cessa meraih gelas plastik polkadot, memberikan pada Kaizar.

"Aku nggak mau tenggorokan Kakak seret, jadi Kakak pasti butuh minum." Cessa tahu, Kaizar keluar dari restoran tadi sekedar membawa nampan di atasnya piring berisi menu pilihan laki-laki itu siang ini.

Kaizar tidak mengatakan apapun meski begitu tetap menyambutnya.

Cessa tersenyum semringah lalu meneruskan melahap biskuit coklat sempat Chester belikan. Baru juga memikirkannya, panggilan bernada guyonan menyapa telinga Cessa.

"Cebong, Papa datang!"

Suara derap langkah ribut menghampiri secara bersamaan obrolan berisik Violet bersama Eros.

Bangku pualam Cessa duduki tidak lagi kosong kini, Chester di sebelah kanan Cessa dan Violet di sebelah lainnya, sementara Eros bersisian dengan Kaizar di seberang.

Dasar pengganggu!

Cessa cemberut. Mengunyah beringas biskuit di mulutnya semakin terusik saat jempol Chester memainkan pipinya dengan di dukung Violet yang sudah bertopang dagu menatap Cessa.

"Klub akuma ada tambahan anggota baru," ucap Violet sambil menyentil gemas hidung Cessa.

Cessa menyadari Violet tidak pernah tersinggung jika dia menunjukkan ketidaksukaan malah Violet tambah kesenangan, makanya Cessa sengaja berseru mengomel kemudian.

"Jangan pegang!" Kepalan tangan tepat di muka Violet.

Terhitung telah puluhan kali gadis berambut pendek ini menyentuhnya sana sini, sesekali akan mengigit pipi Cessa.

Violet tertawa. "Di masa depan gue mau dia jadi cegil!" Mata cokelat gelap Violet berbinar-binar.

Ucapan itu membuat Eros menelan cepat potongan daging di mulutnya.

"Bisa hancur klub akuma kalau perangainya mirip kamu," ungkap Eros blak-blakan.

Violet mendelik. Melempar cepat garpu mengarah ke kening Eros.

Eros hendak menghindar, namun Kaizar keburu menahan pundaknya memaksa Eros tetap duduk tegak.

Cessa melihat, meringis lirih tidak bisa membayangkan sesakit apa. Erangan Eros membuktikan semuanya, apalagi kening Eros menyisakan bekas kemerahan.

"Mama gak boleh gitu." Cessa menarik ujung jaket denim Violet. "Harus disayang." Lama-kelamaan Cessa iba juga pada Eros yang sering dianiaya.

Violet menoleh tercengang.

Sesuai dugaan Cessa, tak lama kemudian Violet akan bereaksi berlebihan karena bibirnya mau menyebut gadis itu mama. Tubuh mungil Cessa di dekap erat.

"Iya..." Violet melirik Eros lalu mengerlingkan matanya. "Maaf, sayang. Tadi itu cuma bercanda."

Eros melongos, pura-pura tidak mendengarnya.




***







Mereka pulang ke rumah masing-masing katanya nanti akan kembali berkumpul di tempat biasa pada malam hari, Cessa diam-diam menguping sungguhan tidak memahami maksudnya.

Cessa langsung kebingungan mendengar kata rumah, jika dia saja tidak tahu ke mana tempatnya pulang, kebingungan bercampur kalut kalau seandainya ditinggalkan.

Namun, perasaan itu lenyap beberapa menit lalu kala Chester menuntun Cessa menuju mobil, mengatakan Cessa harus ikut bersamanya dan segera menutup pintu mobil di detik yang sama menemukan Violet hendak menerjang mereka.

Eros gagal mengambil alih perhatian Violet tentang Cessa. Violet lebih dulu cepat sadar bahwa sosok pendek yang berdiri di sebelahnya telah menghilang.

Pada akhirnya Cessa berakhir di halaman sebuah rumah atau mungkin pantas menyebutnya istana.

Jiwa babu Cessa mendadak menjerit penasaran, kira-kira seberapa lama dia membersihkan seluruh lantai hunian ini.

"Selama datang, tuan putri cebong." Chester tersenyum menawan sambil membuka pintu tinggi berwarna putih dengan ukiran rumit di sekitar pintu.

Cessa mendelik sebal. "Jangan panggil aku cebong." Cessa bersedekap.

Chester terkekeh geli. "Lucu banget, sih. Emang lo tau cebong itu apa?" tanya Chester.

Di telinga Cessa... Chester tengah menentangnya. Cessa mengangguk yakin lalu mengangkat dagu.

"Cebong itu berudu setelahnya cebong berkaki terus berubah jadi katak." Cessa berbicara terlalu lancar dan sama sekali tidak menyembunyikan pengetahuannya.

Kalau bisa Cessa ingin mengatakan dia hafal perkalian, segala tetek bengek matematika lalu nanti bergelar balita jenius. Menakjubkan!

Chester mendapati bocah perempuan yang tingginya tak sampai lututnya itu sedang senyam-senyum membuat Chester mengangkat alis.

"Gue penasaran isi kepala ini." Chester meletakkan tangannya di puncak kepala Cessa, mengacak rambut sang balita hingga awut-awutan. "Itu panggilan spesial jadi gak boleh protes dan siap-siap setelah ini kita ketemu Opa dan Oma."

Cessa mengerjap linglung sesaat. Mendongak menatap Chester yang tatapannya lurus melewati ruangan luas sekaligus senyap dengan tangan Cessa selalu di gandeng.

Opa dan Oma? Cessa mulai memikirkan hal buruk terjadi nantinya, dia tebak yang Chester maksud adalah orang tua Chester.










****







Tinggalkan vote dan komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya. Jangan sider ya.

Terima kasih

Gummy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang