8. Tears

17.8K 1.6K 36
                                    

Cessa menggeliat, untuk sejenak kesulitan membuka mata yang Cessa ketahui penyebabnya. Tadi malam dia kebanyakan menangis hingga tertidur tanpa sadar.

Seingatnya, dia rebahan beralas ambal berbulu di kamar Chester, namun detik ini tubuh Cessa sudah berada di atas kasur empuk.

Cessa meringis setelah mencoba mengangkat kedua kakinya yang ternyata salah satunya terdapat lebam mengerikan di sana. Tidak apa-apa, ini teramat biasa.

Di kehidupan sebelumnya sepupu liar Cessa bahkan lebih parah, tiap dia melakukan kesalahan meski sepele, kedua sepupu perempuan Cessa bakal berakhir main tangan.

"Ekspektasinya ketinggian, nyet. Pas jatuh malah sakit." Cessa tertawa hambar lalu manyun, mengira di kehidupan ini tidak akan pernah merasakan yang namanya kekerasan lagi.

"Raga bocah ini juga diam-diam punya bekas luka baret di punggung." Cessa melanjutkan serak.

Saat mandi kemarin, Cessa menemukan luka kering tersebut di kulit punggungnya, bahkan sebelum mandi pun sempat ada drama di mana Chester yang ingin membantu memandikannya.

Beruntung ponsel Chester berbunyi nyaring di nakas menyelamatkan, cowok memiliki sifat labil itu langsung pergi membuat Cessa bernapas lega kemudian.

Cessa agak malu, tepatnya belum terbiasa. Mau taruh di mana muka Cessa jika Chester menyaksikannya telanjang, padahal di mata Chester wujud Cessa pasti cuma balita salah pergaulan yang mudah di tindas.

Selama di hutan, Violet yang selalu membantunya mandi pun di sungai tidak pernah menyinggung tentang bekas luka ini.

Meletakkan kakinya kembali selonjoran penuh hati-hati, Cessa menoleh ke samping kanan sambil sebelah tangan berniat memeluk guling.

Dia masih mengantuk. "Eh?!" Sekonyong-konyongnya Cessa berseru kaget. "Papa jahanam..." Kali ini Cessa memanggil lirih lalu menelan ludah.

Chester berbaring menghadap ke arahnya, sepasang mata itu tampak terpejam rapat atau bisa saja tipuan, karena tidak ada dengkuran halus yang Cessa dengar.

Selama hampir satu minggu bersama Chester dan tiga orang lainnya, Cessa diam-diam jadi tahu tentang kebiasaan mereka yang kadang berujung kengerian.

"Iya, cebong, kenapa? Mau minum susu, kah?" Suara menyebalkan menyahut kalem, disusul matanya mulai terbuka menyambut tatapan Cessa kuyu.

Pipi Cessa memerah. "Aku enggak suka susu!" Cessa mendesis sebal makin lama wajahnya memanas usai menyadari tiga kancing piyama pihak lain tidak terpasang dengan benar.

Chester tertawa merdu sembari menyentuh dadanya. "Gue baru ingat, kalo gue gak punya puting susu ternyata." Ibu jari Chester terulur mengusap bawah mata Cessa yang bengkak. "Pasti sakit banget, ya?" ujarnya.

Biasa aja, tapi makasih udah khawatirin.

Cessa membatin, mengikuti lirikan Chester mengarah pada kaki kecilnya.

"Aku lapar..."' Cessa menepuk-nepuk perutnya yang tiba-tiba saja keroncongan. Rencana ingin melanjutkan tidur lenyap sudah.

Chester termangu.

"Papa, aku pengen makan!" Mau tak mau Cessa harus merengek. Alih-alih sigap seperti biasa, Chester malah melamun seolah-olah pikirannya berada di lain tempat.

Dia kesal. "Papa bipolar aku lapar!" Cessa setengah memekik, berniat menabok lengan Chester lebih dulu di tahan secara bersamaan gelak tawa lagi-lagi menyapa telinga Cessa.

"Lo ini punya banyak kosakata, kaya bukan bocah." Chester menyentil kening Cessa lalu bangun dari posisi berbaringnya.

Cessa menegang, jantungnya seketika berdebar takut dengan perut mulai mulas.

Gummy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang