41. pintu-pintu memori (a)

6K 796 47
                                    

Agas duduk di bangku sebelah ranjang bermenit-menit lamanya, menilik tiap perubahan di wajah Cessa yang tertidur pulas. Namun, dia lihat tetap sama ... hanya ketenangan di sana dengan dengkuran halus terdengar.

Terbungkus selimut sampai dada, Cessa konsisten posisi telentang, satu tangan di balik selimut sementara satunya di atas perut.

Aku bisa menyentuhnya tanpa rasa jijik berbeda dengan orang-orang di luar sana.

Terkadang Agas berpikir karena mereka punya cerita masa lalu ribuan tahun silam, tapi mengapa Kaizar dan Chester tidak sama layaknya Cessa, kalau itu memang alasannya.

Chester pernah bertindak kurang ajar dengan memeluknya alhasil dia muntah-muntah parah dan nyaris semamput.

Penyakit ekstrem itu muncul saat berumur enam tahun, ditandai menarik diri dari lingkungan sosial. Ketakutan datang berlebihan, mimpi buruk bermunculan hingga kesulitan tidur.

Anehnya, semenjak Kaizar datang setengah tahun kemudian, di mana Agas kala itu menghadiri pesta brand ambassador perhiasan menemani orang tuanya ... Agas kira tempatnya berdiri dipojokan gelap telah tersamarkan.

"Adriel, akhirnya kita ketemu."

Menangkap suara itu tepat di belakang punggung berhasil mengejutkan Agas. Kehadiran Kaizar bagaikan mirip hantu membangkitkan sisi kanak-kanaknya sampai sekarang jika dia ingat akan malu luar biasa.

Bisa-bisanya Agas menangis pada detik yang sama mengompol. Tidak apa-apa, aku belum ingat waktu itu siapa Kaizar. Aku masih bocah murni sementara Kaizar cih... dia pasti merasa anak paling cerdas di dunia.

Kaizar menawarkan diri sebuah pertemanan, jejak suara sarat budi luhur tanpa peduli bau pesing.

Saking takutnya masih mengira Kaizar hantu, dia hanya membalas manggut-manggut panik, detik kemudian berlari kabur.

"Syukurnya Kai nggak pernah bongkar aib itu." Agas bergumam sembari memijit pelipis.

Singkat cerita, mereka berteman. Agas sudah tahu kalau Kaizar manusia tulen. Orang tuanya menyambut baik pertemanan mereka secara tak langsung membuka ingatan-ingatan tersembunyi.

Di malam-malam tertentu apalagi Kaizar yang menginap ingatan itu datang lewat tidur, tidak semua buruk.

"Kalo gue pencet hidung lo, apa lo bakal bangun?" Agas menyentil pelan hidung bangir Cessa, untuk ketiga kali Agas menguap. Si bocah perempuan yang terlelap seolah menular ngantuk juga pada Agas.





***





Agas tersentak, gerak-gerik waspada memandangi sekitar. Sialan! Seharusnya dia tidak tidur sore hingga alam bawah sadarnya membawanya ke tempat ini.

"Kak Aga?"

Agas kontan berbalik secara bersamaan melotot lebar, raut wajah Agas tak mampu menutupi keterkejutan.

"Kenapa lo bisa ada di sini?!" Agas setengah berteriak, melangkah mundur. Cessa sekarang jelas-jelas ada di hadapannya.

"Oh, aku sering mimpi kaya gini pas di kehidupan dulu sebagai Cessa," jawabnya keceplosan, mata itu detik kemudian mengerjap-ngerjap. "Eh, maksud aku ..."

Agas gemetaran bercampur terpana. Dia benar-benar Nayanika. Aku tidak bisa menyangkalnya lagi. Agas membatin linglung.

"Sebentar!" Mendadak Cessa menjerit alhasil Agas tegang, muka yang pucat makin pucat paci. "Penampilan aku berubah, raga aku bukan bocah. Tapi kenapa badan aku malah kaya tembus pandang!" Cessa berjalan mondar-mandir, kepanikan mengusai sampai gagal mengontrol kata-katanya.

Cessa memegang wajah, bagian atas tubuh, terakhir kaki yang semua itu disaksikan Agas.




***




Cessa menghela napas, kebingungan sepenuhnya menatap Agas yang membisu. Tak seperti biasa, kadang-kadang bicara kelewat tajam pada Cessa.

Mungkin kah Agas tidak mengenalinya karena garis wajah Cessa bukan anak perempuan tujuh tahun yang mengemaskan, melainkan detik ini rupanya di kehidupan dulu, kehidupan teramat suram, di mana Cessa menduga dia berbaris paling depan dapat jatah kesialan.

"Dulu dalam tidur aku sering mimpi ini dan anehnya aku bisa ke sana ke mari di sekitaran danau," ucap Cessa pelan memecah keheningan.

Kepala Cessa mendongak meskipun perawakan Cessa tidak lagi mungil, tetap saja bersisian dengan Agas, Cessa merasa pendek.

"Aku mau jujur." Cessa menelan saliva. "Aku jiwa nyasar, Kak Aga, umur ak--"

"Ya, lo harus jujur. Semuanya. Tanpa tertinggal satu pun." Agas menyela dengan berbicara penuh penekanan, mata jelaga itu tertuju tepat pada indra penglihat Cessa berwarna abu-abu yang terkesan bening.

Cessa mengangguk patuh. "Boleh aku tanya, gimana bisa Kak Aga ke tempat ini terus aku sebenarnya kenapa?"

Agas membuang muka sementara Cessa langsung cemberut.

"Lo yang bawa gue ke sini, jelas lo nggak sadar makanya gue bakal bikin lo ingat." Agas tersenyum kecil, mengenang sesuatu.

Jika dulu Kaizar membuka pintu-pintu memorinya hingga dia tahu apa tujuannya hidup, maka Agas sukarela membantu Cessa.

Bisa jadi setelah dia ingat, semuanya bakal berubah. Bukan kah itu baik. Kaizar pasti akan berterima kasih karena aku membantu adiknya ingat.

Alih-alih menjawab, Agas justru bertanya balik. "Jadi, tempat kesukaan lo danau di tengah hutan?"

Cessa bungkam.

"Padahal gue kira di dalam istana."

Kening Cessa berkerut, perasaan seketika tak nyaman kemudian apalagi Agas sedari tadi menjaga jarak kali ini mendekat, lebih rapat.

"Aku menghormati kamu sama seperti aku menghormati Kakakmu, Tuan Putri Nayanika Aruna ..." Agas berbisik, tiap kata terucap di bibir sarat magi membuat bulu kuduk Cessa diam-diam meremang. "Tapi, itu dulu. Seribu tahun silam."

Mulut Cessa terkantup rapat bahkan saat Agas mengisyaratkan dia untuk mengikutinya. Belum pernah sekalipun Cessa melihat raut wajah Agas seserius itu.








***







Pantat Cessa mendarat sempurna di tanah, daripada sakit dirinya lebih merasa jantungan. "Apa itu aku, Kak Aga?" Cessa mendongak gentar.

"Iya," sahutnya tanpa menyambut tatapan Cessa. Perhatian Agas tertuju lurus pada sosok gadis berpakaian serba gelap yang berjarak beberapa meter di posisi mereka sedang menunggang kuda.

Selain suka melarikan diri ternyata dia juga suka berkuda. Agas melirik Cessa yang melongo, barangkali takjub.

"Berhenti nunjukin tampang bodoh karena lo tambah jelek," celetuk Agas ketus.

"Aku masih belum percaya kalau dia itu aku. Segalanya di luar nalar." Cessa tidak berani menjatuhkan pandangan kembali ke sana, mengabaikan ucapan tajam Agas.

"Makanya bersiap, setelah ini lo bakal lihat sesuatu yang lebih banyak di luar nalar." Netra jelaga serupa langit malam itu berpendar misterius seiring berjongkok, sekonyong-konyong lalu meniup sudut mata kiri Cessa.

Dalam batin, Agas berharap tidak ada yang membangunkan mereka, jika itu terjadi akan susah kembali Cessa menariknya ke dalam mimpi.










****



Tinggalkan vote dan komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya. Jangan sider ya.

Terima kasih

Gummy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang