50. patah

4.4K 621 29
                                    

Tirta berjalan mundur, tepat berdampingan dengan Cessa, dia berkata ketus. "Aku masih marah ya sama kamu."

"Marah aja selamanya." Si bocah perempuan menyahut cuek, mulai risih Tirta misuh-misuh seperti cacing kepanasan, sesekali menyikut bahu Cessa hingga beberapa kesempatan oleng.

Di antara hilir mudik pengunjung kebun binatang Cessa menabok pundak Tirta membuat Tirta mengaduh.

"Berisik. Aku mau lihat harimau!" katanya mengomel galak.

Sepasang kaki pendek itu sungguhan berhenti di depan kandang harimau, di belakang ada Theo yang mengikuti, menyaksikan hewan berbulu jingga tersebut sedang bergulung di tanah berumput pendek.

"Percaya nggak kalau dulu aku suka uyel-uyel perut harimau." Cessa menoleh, kali ini menarik lengan Theo supaya berdiri di sisinya.

Theo berkedip. "Iya, percaya," ujarnya datar alhasil Cessa memicing, lama-kelamaan merasa janggal.

"Aku baru sadar kamu dan saudara kembar kamu itu pendiam, hm ... kecuali sama Tirta. Kamu nggak pernah senyum apalagi ketawa." Cessa makin peka, apalagi disadarkan jiwanya jelas bukan kanak-kanak, terlebih semenjak ingatan kembali, beberapa kesempatan Cessa malu mengenang kekonyolan dia buat selama ini.

Harga diri bagaikan tercoreng habis, Cessa yakin dua tahun belakangan Agas diam-diam mengejeknya. Jika Agas mengetahui isi pikiran Cessa sekarang, sudah pasti Agas akan menjitak kening Cessa sampai merah.

"Nggak ada yang lucu jadi buat apa aku ketawa terus aku sama sekali nggak pendiam, aku malas ngomong aja." Theo mengedikkan bahu sambil membuang muka. "Lihat, dia mau dikasih makan."

Tatapan Cessa sontak kembali fokus pada harimau di kandang, pria paruh baya bersetelan coklat membawa baskom besar alumunium, daging merah menumpuk di sana.

"Pengen foto!" Mata Cessa berbinar, suaranya setengah merengek. Baru juga menegaskan untuk bersikap anggun terlupakan begitu saja, toleh kanan-kiri biasanya Tirta selalu mengantongi ponsel.

Tirta bersama gerombolan murid yang lain berdiri tak jauh, depan kandang panda seolah menyadari ada yang memandangi, Tirta menengok, menyambut tatapan Cesaa kemudian.

Cessa refleks melambai. "Mau foto. Mau. Foto." Cessa berujar tanpa suara hanya bibirnya gerak, penuh penekanan.



***



Tirta tertawa, memainkan seenaknya pipi Cessa meskipun beberapa kali sempat ditepis tidak membuat dia menyerah.

"Ambil foto kami sebanyak mungkin, Kak Mara." Bocah laki-laki delapan tahun itu tersenyum manis, sama sekali tak merasa bersalah sudah membuat pihak lain sempat kewalahan menuju wisata kebun binatang sepuluh menit lalu.

Tirta menolak mengambil jasa fotografer yang di sewa sekolahnya lebih memilih asisten pribadi Chester dengan cara memaksa datang.

"Baik, Tuan muda." Maraka mengangguk.

Hampir lima menit tiap bidikan tercipta baik, awalnya Cessa canggung oleh jepretan kamera sekaligus Tirta yang heboh, berbeda sekali dengan setahun lalu di mana Cessa paling semangat.

"Yang aku mau, hewan di sini di foto bukan kita." Cessa berbisik, mendorong kepala Tirta hendak bersandar di pundak sempitnya.

"Hewan itu juga ikutan kok, kuda nilnya mau kemari." Tirta menggerutu sebal, kali ini beralih berdiri di balik punggung Cessa, mematuhi arahan Maraka bagaikan fotografer profesional.

Cessa menghela napas, bersikap semakin natural pada akhirnya, menatap kamera, sementara Tirta mengalungkan tangan di leher Cessa, dagu menempel di puncak kepala si bocah perempuan sembari mengukir senyum lembut.

Gummy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang