9. Kelainan Ekstrem

17.2K 1.6K 33
                                    

Kedua kalinya Cessa duduk manis di tempat yang sama, namun di hari berbeda, tanpa Chester dan orang tua Chester. Di halaman belakang rumah terdapat meja bundar, di sekeliling meja tersedia empat kursi, tidak jauh dari belakang Cessa ada danau luas dan super bening.

"Mau gue lempar ke sana?"

Cessa tersentak, buru-buru memperbaiki posisi duduknya. Mata bundar Cessa memandangi linglung Agas di seberang. 

Cara duduk Agas lalu menyeruput cangkir teh kemudian membuat Cessa makin sadar diri. Dia bagaikan rakyat jelata.

Katanya mau minta maaf, tapi mukanya lempeng banget.

Cessa mengerti maksud perkataan Agas hanya bisa tersenyum polos. Bisa-bisa pemikiran jahat itu tercetus dari mulut si maniak kebersihan ini. Melemparnya ke danau? Yang ada Cessa kembali tinggal nama.

"Aku pengen biskuit." Cessa menyahut lirih sambil melirik piring dekat Agas.

Jari-jari itu masih tertutupi sarung tangan, bedanya sekarang mengenakan sarung tangan plastik bening.

Penyakit Agas sepertinya memang sudah parah. Jika tidak, mana mungkin pergelangan kaki Cessa sampai membiru cuma karena dibantu memasangkan kaos kaki atau para pelayan penghuni mansion ini sempat gemetaran sekaligus pucat beberapa menit lalu.

"Udah sarapan, kan?" Agas menyambut datar tatapan Cessa.

Cessa sontak mengangguk kaku, merasa menyesal menginginkan sesuatu. Tangan kecil Cessa meremas celana selututnya, jujur saja berada di tubuh anak perempuan ini Cessa lebih sering lapar.

"Maaf."

Cessa mendongak kaget meski suara itu teramat pelan, Cessa masih dapat mendengarnya apalagi suasana belakang mansion yang senyap, jadi dia benar-benar meminta maaf, padahal Cessa mengira Agas tak akan melakukannya.

Sebagai balasan lagi-lagi Cessa mengangguk, siapa yang menyangka respon Agas kemudian justru mendelik tajam alhasil Cessa kembali menciut.

"Jangan diam, lo gak bisu," ucapnya dingin tidak sekali pun mengalihkan pandangan pada Cessa yang terduduk tegang.

"Iy...iya, Kakak." Cessa tersenyum lebar terkesan terpaksa sebenarnya. "Aku boleh main?" Cessa lalu melompat turun dari kursi tanpa menunggu jawaban Agas, segera berlari kabur.





***










Jantung berdebar bertalu-talu dengan kening mulai mengeluarkan keringat dingin, demi apapun berada di sekitar Agas selalu memberikan Cessa perasaan takut. Apa dia trauma? Rasanya mustahil, pasalnya Cessa telah biasa mengalami kekerasan.

Cessa menunduk, menatap sejenak pergelangan kakinya. Cessa berbalik, tidak lagi bersandar di pintu. Mencoba untuk kesekian kali berjinjit menggapai kunci yang terletak di lubang kenop.

Dia harus mengunci pintu supaya terhindar dari Agas. Lebih baik Cessa tidur sampai Chester bersama yang lain pulang menjelang sore nanti.

"Dasar pendek!" Cessa mendesis sebal, mengatai dirinya sendiri. Melompat-lompat mencapai kunci perak yang menggantung, nyut-nyutan sesekali terasa di kaki, Cessa abaikan.

Cessa termundur panik setelah menyadari pintunya tahu-tahu terbuka disusul kemunculan sosok berperawakan atletis, berdiri menjulang di depan Cessa.

"Kenapa lo kabur?" tanya Agas memicing.

Cessa membuang muka, bergerak gelisah menangkap nada sinis terucap itu. Menurut Cessa urusannya dengan cowok bernama Bagaskara ini sudah selesai. Dia telah memaafkan, lagi pula Cessa juga salah yang sok kenal sekaligus bersikap genit.

Gummy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang