31. Love That Has Been Lost

9.8K 1.3K 54
                                    

Agas hampir menjatuhkan laptop yang dia bawa, untuk sesaat raut wajah Agas jadi tegang. Menarik napas, mengembuskan perlahan, dia berusaha tidak bereaksi berlebihan.

Menunduk, Agas memandangi datar Cessa yang tiba-tiba saja memeluk kakinya usai meloncat dari balik dinding.

"Berapa kali gue bilang kal---"

"Lihat, aku bisa sentuh Kak Aga, kan?" Cessa menyela ringan semakin gelendotan di kaki panjang Agas, tanpa menyadari pihak lain langsung terkesiap.

Seingat Agas, Cessa masih bermuka muram tadi pagi, Chester pamit pergi ke sekolah pun bersama yang lain, hanya Cessa balas dengan anggukan singkat, padahal biasanya bocah perempuan di hadapan Agas sekarang akan melambai, bertanya halus tentang banyak hal.

Agas tentu tahu penyebabnya, sampai kapanpun mereka pasti terus berduka, tiap mengenang Violet.

"Kak Bagaskara?!" Tirta berseru memanggil, mata berbinar. Bertepuk tangan terpana. "Wah, hebat."

"Apanya yang hebat?" Agas melotot galak sembari berusaha melepaskan cengkeraman Cessa di celananya.

Jika Agas terkesan sensi maka Cessa berlagak tidak memedulikan, bibir Cessa kembali mengoceh pamer. "Aku, anak spesial." Dia menoleh pada Tirta.

Tirta mengerjap lugu. "Kamu belum spesial soalnya gak punya tas bebek." Tangan Tirta menepuk tas kuning cerah di punggungnya.

Jari tengah sang balita menunjuk gemas wajah Tirta. "Bisa-bisanya Papa punya adik nyebelin kaya kamu." Cessa merengek protes.

"Kenapa Kak Ero dipanggil Papa?" Tirta bertanya heran. Menatap Agas lekat.

"Aku juga mau dipeluk Kak Agas." Kaki pendek bocah laki-laki itu melangkah maju membuat Agas berjengit kaget.

Cessa jarang sekali mendapati Agas bertampang panik alhasil ternganga. Sebelum Tirta betulan melakukannya, Cessa lebih dulu berbalik dengan merentangkan lengan.

"Enggak boleh." Cessa menggeleng cepat. "Hei, nanti kamu ditampar Kak Aga, kaya orang-orang nekat di luar sana. Papa Teter pernah ngomong gitu!" Nada suara Cessa terdengar tegas sambil memegang pergelangan kanan Tirta yang tengah terjulur.

Cessa tidak menduga Tirta bakal menariknya kuat kemudian, membuat Cessa yang belum siap terhuyung hingga suara berdebuk nyaring mengisi ruang tengah super luas itu.




***







Telunjuk Chester mencolek pipi gembil sang balita, bergeser merapat memastikan mata itu tidak lah terpejam. Benar saja dugaannya tak salah, Chester mengamati geli Cessa yang seketika kelabakan dengan posisi berbaring tetap memunggungi.

"Cebong..." Chester berbisik, meletakkan dagu di puncak kepala Cessa. "Kenapa lo gak mau temenan sama Tirta? Bukannya dia udah minta maaf."

Tadi sore Chester cukup kaget kala memasuki rumah justru keributan yang menyambutnya, dua bocah berlarian, sesekali saling jambak beringas pada detik sama beberapa pelayan heboh memisahkan. Penasaran, Chester mengangkat satu tangan Cessa ke atas.

"Kuku lo lumayan panjang pantesan leher Tirta ada bekas cakarnya," ucap Chester.

"Aku juga udah minta maaf." Balasan lirih yang Chester tunggu akhirnya terdengar dan selalu berakhir menggemaskan. "Besok aku bakal minta maaf ke Papa Eros. Papa pasti marah ... soalnya tadi gak sapa aku."

Gummy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang