32. Kalung Phoenix

9.5K 1.2K 91
                                    

Keinginan Cessa terwujud, tapi kali ini Cessa tidak berdua saja bersama pengasuhnya, melainkan berempat. Cessa melirik tangan kanannya tengah digenggam Tirta.

"Kenapa kamu gak pakai topi?" Tirta menoleh sembari menggoyangkan tautan jari mereka. Melangkah riang menyusuri trotoar sementara di belakang dua wanita muda membuntuti.

"Males," balas Cessa sekenanya lalu mengibaskan rambut, sengaja mengenai pipi Tirta. "Bisa kamu berhenti nyanyi lalalalalalala ... soalnya berisik." Mata bundar Cessa melotot sebal.

Tirta mengiyakan patuh, tidak lagi menyanyi amburadul, bocah enam tahun itu beralih menghitung tiap pohon yang mereka lewati, kerikil kecil terkadang dia tendang, berhenti mendadak cuma mencomot daun sampai-sampai sang pengasuh lelah sendiri membersihkan tangan Tirta dengan hand sanitizer.

"Kasian nanny kamu tau." Cessa menggebuk pelan pundak Tirta, menatap lugu perempuan mengenakan pakaian putih bergaris biru muda berjongkok di hadapan Tirta.

"Pasti cape ya punya majikan kaya dia. Semoga kakak selalu sabar..." sambung Cessa tulus.

"Makasih, Nona." Lily terbatuk kering, tampangnya sekilas kaget menyambut mata bening Cessa. "Gimana kalau kalian neduh dulu sambil makan es krim?" katanya penuh harap.

"Boleh, aku mau es krim yang toppingnya banyak!" Cessa membalas semringah.

"Aku juga mau!" Tirta ikut menimpali, menarik ujung pakaian Lily.

"Hei, kamu itu gak diajak." Cessa memutar bola mata, menunjuk gemas Tirta. Lagak sang balita bagaikan preman pasar.

"Dasar monster!" balas Tirta berteriak marah membuat Cessa tersinggung berat.

Belum sempat Cessa melangkah maju berniat menjambak rambut Tirta, muka Cessa lebih dulu tertoleh ke samping, bukan hanya sekali tapi beberapa kali.

"Bocah bajingan!" Cessa membalas tak kalah nyaring, merampas tas bebek kuning Tirta sebagai alat menampar wajahnya.

Jika Lily bersama Suni panik memisahkan maka dua bocah itu justru semakin bruntal. Saling jambak, gigit, gebuk sana sini. Terakhir, bergulungan sampai ke bahu jalan.





***




Chester tidak berhenti menguyel-uyel pipi Cessa dengan gelak tawa, kepalanya bersandar di bahu sempit Cessa, seolah sengaja menimpakan bobot tubuhnya yang kekar itu alhasil Cessa yang duduk di sofa dalam posisi kesusahan.

"Berat." Cessa berujar protes, sekuat tenaga mendorong Chester walau selalu gagal yang ada dia berakhir ngos-ngosan.

"Kak Kai, singkirin Papa jahaman ini. Keringat Papa bau!" Ekspresi Cessa memelas pada Kaizar tengah mengompres pergelangan kaki kirinya yang memar.

"Udah lama gue nggak denger lo panggil gue Papa jahanam." Alih-alih tersinggung Chester malah tersenyum tengil sembari menggeser menjauhi sedikit si balita, Chester lalu mengendus bawah ketiaknya. "Mana ada bau, harum!" Sentilan lembut mendarat di hidung mungil Cessa.

Cessa memalingkan muka, mengamati lekat ke sisi ruangan di mana Eros berbicara serius dengan Tirta. Katanya Eros ingin menenangkan diri selama sebulan, namun rencana itu batal karena satu minggu lagi mereka bertiga mau ujian sekolah.

"Kak Kai," panggil Cessa berbisik, melirik sekilas Chester mulai bersikap normal yaitu terpejam, bantalannya lengan sofa. Entah tidur sungguhan atau tidak, Cessa mencoba mengabaikan.

Kaizar mendongak. "Kenapa?" sahutnya mengikuti arah telunjuk Cessa. "Sini, gue gendong." Kaizar beranjak secara bersamaan Cessa merentangkan tangan patuh.




***






Eros mengacak rambut, seakan belum cukup Eros membenturkan pelan kening ke dinding kaca, seiring sang adik semakin tantrum.

"Kakak minta maaf, jadi diam ya? Yaudah, sekarang kita pulang." Eros berkata lempeng, dapat solusi air mata Tirta berhenti bercucuran dengan mengancam halus, Eros meraih cepat pergelangan kanan bocah enam tahun itu bersiap menuntunnya.

"Enggak mau!" Tirta menghentakkan kaki. "Kan, kalian bilang kami harus temenan. Hari ini aku juga gak ada les." Dia bersungut-sungut kesal membuat Eros agak terhibur.

"Tapi, kalian ribut terus."

"Cesa yang duluan, dia monster!"

"Mana ada, kamu yang duluan."

Refleks Eros menepuk keningnya, menatap lelah Kaizar yang menghampiri. Giliran Cessa membela diri. Berceloteh panjang lebar, hansaplast bergambar bintang di dagu Cessa tampak terlihat mencolok. Mimik wajahnya berubah-ubah hingga Kaizar sempat terpana.

"Ingat, perempuan itu selalu benar," kata Cessa dengan lima jemari bergaya mencakar. "Sejujurnya aku gak butuh teman, Mama Violet pernah bilang tiap manusia itu lebih butuh duit ..." Bibir Cessa tersenyum samar, semua perkataan Violet sudah terekam baik dalam memori Cessa.

Tirta bersedekap. "Kak Ero, aku bingung dia ngomong apa, mulutnya berisik kaya kipas angin ac rusak," tutur Tirta polos.

Muka Cessa memerah, jika tidak ingat pergelangan kaki cedera, Cessa ingin melompat lalu kembali mengeplak kepala Tirta.





***





Kaizar berbaring nyaman di kasur sembari mengacung rendah sebuah kalung beberapa jengkal dari depan wajah, hampir lima menit dia lakukan hanya mengamati kalung berliontin burung phoenix itu. Besok pagi Kaizar berjanji akan memberikannya.

Dia tidak sabar menyaksikan reaksi Princessa. Kalung ini, benar-benar di desain khusus yang selalu Kaizar harap selamanya melingkar di leher itu.

Ibu jari Kaizar mengusap bagian sayap liontin berwarna biru safir. "Gue udah tunggu momen ini," ujarnya memberitahu.

"Muka lo persis pedofil bejat." Satu suara menyahuti ketus.

Kaizar menoleh cepat, detik berikutnya ekspresi Kaizar berubah dingin. Di depan jendela, Agas berdiri memunggungi, tirai yang tidak tertutup membuat perawakan jangkung tersebut tersiram oleh cahaya bulan.

"Gue dan Chester udah sukarela ikutin lo di kehidupan terakhir ini. Kita bertiga berumur panjang, itu berarti dia beneran anuja, kan, Kai?" Agas menyambut tatapan Kaizar, penuh arti.







****



Tinggalkan vote dan komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya. Jangan sider ya.

Terima kasih

Gummy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang