44. Nayanika Aruna

5.4K 739 73
                                    

Sebelum menyeruput tehnya Nayanika membalas dingin. "Itu bukan kabar baik, tapi kabar jijik." Mata kelabu bening Nayanika menatap lurus Adriel yang sontak menunduk kemudian.

"Orang-orang lancang itu sudah saya habisi dalam keadaan usus terburai." Dia memberitahu gamblang tanpa tahu pihak lain sempat kesulitan meneguk minumannya.

"Aku merasa semakin terhormat. Yang Mulia akan memberi kamu hadiah, barangkali berlian sebesar telur naga." Nayanika menyergah sarkas.

Adriel tertawa kecil, melirik Sabiru menjulang tegak di sisinya terakhir pada Geran mengangguk setuju di hadapan mereka.

"Jujur, saya lebih suka hadiahnya dari Anda." Adriel memiringkan kepala, menyambut tatapan Nayanika lalu mengerling tanpa sepengetahuan Geran tentunya.

Nayanika memicing. "Sebut saja, hmm ... jangan berlian sebesar telur naga aku tidak punya." Dia sedikit menyesali ucapannya tadi.

"Hadiahnya itu Anda sendiri, Tuan Putri!"

Nayanika berkedip linglung sementara Geran detik itu juga menoleh. Adriel berlagak tak melihat.

Cessa berdiri tidak jauh semakin penasaran apalagi pembicaraan mereka lambat laun di pendengaran memelan, pada akhirnya Cessa memutuskan mendekati kembali, cuek oleh sikap Agas langsung memaki.

"Astaga!" Cessa memekik kaget, sekonyong-konyongnya Kaizar versi masa lalu merebut pedang tersampir di pinggang Sabiru, sarung bilah pedangnya bahkan koyak, teronggok di tanah.

Cessa melongo antara takjub dan ngeri menyaksikan ujung pedang itu menggores pipi Adriel lalu turun ke siku kanan, namun belum ada tanda-tanda melukai. Posisi Cessa kini tepat selangkah di belakang Nayanika yang masih duduk anggun tanpa terganggu kegaduhan terjadi.

"Menurut saya, Tuan Putri sudah cukup umur untuk menikah, Yang Mulia," tutur Adriel.

"Berhenti bicara omong kosong!" Geran balas membentak.

"Sebenarnya aku memang ingin menikah." Nayanika menimpali jujur hingga semua atensi tertuju sepenuhnya ke arahnya.

"Tapi karena protokol kerajaan mengharuskan pemilik tahta lebih dulu, jadi aku wajib menunda keinginanku dan Panglima Adriel sama sekali tidak membual, itu benar adanya, Kakak." Dia bertopang dagu, menilik lurus Adriel.

Nama yang disebut membungkuk hormat sambil mengusap kulit pipi yang berdarah. "Maafkan ucapan lancang saya, Yang Mulia. Sungguh, saya menyesalinya."

Hening.

Cuma Cessa satu-satunya merasa aneh oleh kesunyian berlangsung, mengamati Agas yang baru datang menyusul.

"Pikiran aku jadi buruk pas liat Kak Aga versi jaman baheula," celetuk Cessa berbisik. "Lihat ke sini, dong." Bibir Cessa menahan senyum geli menyadari gerak-gerik Agas yang tak nyaman.

Agas merengut. "Apapun itu gue nggak mau dengar!" balasnya jutek. "Kita pindah memori, yang lo liat sekarang buang-buang waktu. Mereka bakal minum teh bareng lagi."

"Nggak mau!" geleng Cessa protes.

"Sayangnya gue punya kendali di sini." Agas menyeringai puas, menoleh cepat, detik kemudian meniup sudut mata kiri Cessa.







***






Bajingan. Brengsek. Sepertinya dia salah memilih tempat. Agas berniat meraih lengan Cessa, lebih dulu disadarkan bahwa wujud mereka berdua hampir bisa disebut tembus pandang.

Agas berdehem berusaha menutupi kegugupan mulai hinggap, melirik sekilas Cessa setia terpejam.

"Aku udah boleh buka mata, kan? Kepala aku tambah pening ditutup kaya gini."

Gummy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang