6. Papa Jahanam

20.5K 1.7K 19
                                    

Cessa terduduk manis di kursi dengan batal empuk sebagai sandaran, perannya cuma jadi anak gadungan yang kapan saja bisa di tendang.

"Namanya siapa?" Suara itu berasal dari seberang, perempuan setengah baya bergaun kemeja biru muda menatap lurus Cessa dan Cessa menyambut baik kemudian, berusaha memperlihatkan binaran polos yang buat orang-orang jatuh hati.

"Cessa."

"Princessa."

Cessa menoleh ke samping dengan raut wajah agak cemberut, tidak menduga Chester ikut-ikutan menjawabnya.

Chester sendiri tertawa pelan sambil menyentil hidung mungil Cessa.

"Kai bilang nama lengkapnya harus Princessa, anak kami."

Brian nyaris tersedak kopi mendengar nada ringan itu, menyadari ada yang salah dalam berucapannya, Chester segera menambahkan.

"Anak baru klub akuma, Violet ngotot mau bawa Cessa. Aku nggak keberatan apalagi posisi bocil ini..." Telapak tangan Chester dengan kurang ajar menekan kepala Cessa memaksanya membungkuk.

"Di tengah hutan tepat di hari kelima misi, kami menemukannya, sampai sekarang identitas Cessa masih kami gali."

Rasanya Cessa ingin memekik protes atau kalau bisa mengigit kuat pergelangan Chester. Lupakan sikap bersahaja Cessa tadi, dia tidak tahan lagi dengan tindakan menyebalkan Chester.

"Jadi, boleh, kan, Cessa tinggal di sini?" Chester tahu-tahu beralih meletakkan kepalanya ke pundak sempit Cessa.

"Tetap diam, enggak boleh kualat sama orang tua..." Kali ini Chester berbicara berbisik pada Cessa menyadari sang balita hendak bergeser.

Cessa termangu. Bisa-bisanya Chester menyebut dirinya sendiri orang tua dengan nada tengil.

"Alih-alih orang tua anak ini, kamu lebih pantas jadi Kakaknya Cessa, Chester Prasangga. Orang-orang bisa salah paham." Sasmita memijit keningnya yang seketika dilanda pusing.

"Tapi, aku lebih suka dipanggil Papa!" Chester menyahut terkesan tegas. "Kalian nggak bisa larang aku, oke?" Chester melirik sang Papa yang melepaskan jas hitam arangnya lalu memberikan pada pelayan berdiri di belakang kursi.

Cessa menelan ludah. Benak Cessa kembali memikirkan hal buruk, bahwa kehadirannya bisa saja menimbulkan ketegangan, Cessa paham keluarga berdarah biru ini termasuk keluarga harmonis meskipun cuma sekali pandang.

"Kalau itu mau kamu, silahkan. Pengen dipanggil aki juga enggak ada yang larang." Brian berujar tenang, berbanding terbalik dengan sorot matanya, seolah-olah sudah tidak berdaya menghadapi tingkah gila sang anak.

"Kok gitu?! Aku lebih suka Chester dipanggil Kakak bukan Papa. Astaga, mereka di luar sana bisa langsung melotot horor." Sasmita menentang.

"Coba kamu pukul kepalanya, siapa tau otaknya kembali ke tempat semula." Brian terkekeh geli membayangkan kalau itu terjadi.

Namun, siapa yang menyangka Sasmita akan melakukannya tiga detik kemudian, piring kaca berbentuk bundar melayang ke arah Chester.

Chester yang peka, mudah berkelit menunduk cepat disusul tawanya makin keras, tampak menikmati kekacauan yang berlangsung terlebih oleh pekikan heboh Brian.

Lain halnya Cessa untuk kesekian kali melongo terheran-heran, dia menyimpulkan detik ini tiga orang di dekatnya bukan hanya keluarga harmonis melainkan sinting.

Tangan menutup mulut, Cessa berbisik lirih. "Dasar Keluarga prik..."












***











Baru sekarang Cessa bisa berkaca yang menurutnya secara manusiawi, tanpa harus melihat wajah dari air danau yang ada di hutan, ranting kering di mana-mana, sejauh mata memandang pohon tinggi gemuk dia lihat.

Kehidupan ini benar-benar normal, terdapat kasur nyaman di tengah ruangan, entah jenis apa karena baginya tidak penting, bagi Cessa paling penting mampu tidur nyenyak di sana, membayangkannya membuat Cessa menguap.

"Eh, cebong."

Cessa manyun sebal.

"Cessa. Papa."

Pengen banget itu moncong gue lempar sandal.

Membatin keki Cessa mengamati Chester yang menghampirinya, berdiri di belakang Cessa dengan senyum menyebalkan.

Mereka saling pandang lewat kaca meja rias.

"Udah puas liat mukanya?" Chester menepuk-nepuk puncak kepala Cessa, satu tangan yang lain menunjuk kaca.

"Gimana bisa gue pungut balita sejelek lo, cebong. Makan banyak, pipi persis kaya bakpao. Sering ngos-ngosan terus bau keringat," ujarnya tanpa beban.

Cessa merengut, berbalik badan lalu meremas lengan jubah mandi Chester.

"Papa jahanam, mulut brengsek. Setan!" Kesabaran Cessa lenyap, akhirnya makian selalu di ujung lidah keluar juga, pada detik yang sama Cessa lega luar biasa.







***








Gelak tawa Eros terdengar membahana, untung saja bukan jenis tawa cempreng yang berakibat sakit telinga bagi orang-orang di sekelilingnya.

"Serius, lo dikatain Papa jahanam?" Eros bertanya geli, menatap Chester yang rebahan linglung di sofa.

Chester mendelik. "Iya, diam. Sekali lagi lo ketawa gue tonjok," jawabnya ketus.

Eros sontak mengantupkan rapat bibir, memahami suasana hati Chester sedang buruk. Eros ingat lima belas menit lalu Cessa turun dari mobil Chester secara bersamaan pintu kemudi ikut terbuka, Chester menyusul dengan ekspresi muram.

Saat Chester bercerita penyebabnya, respon Eros dan Violet kompak tergelak riang hanya Kaizar yang acuh tak acuh.

"Udah jelas dia bukan sembarang bocil." Violet menjentikkan jemarinya.

Chester melirik datar.

Violet berdehem. "Mungkin Cessa bokem aliasnya bocah kematian." Violet mesem-mesem, merasa bangga dapat mengenali baik sang balita.

Eros mengusap rambut pendek Violet yang duduk di sampingnya sambil mengangguk setuju.

"Gue udah tahap kumpulin data cebong termasuk kamera pengawas, ternyata dia sengaja ditinggalin orang tuanya di tengah hutan," tutur Eros berbisik.












****


Tinggalkan vote dan komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya. Jangan sider ya.

Terima kasih

Gummy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang