42. pintu-pintu memori (b)

5.5K 782 69
                                    

Mereka masih di tempat sama, tapi kali ini duduk bersebelahan di batang pohon yang tumbang. Cessa sempat bertanya penasaran, kenapa Agas keliatan tidak jijik padahal tanpa alas apapun, respon Cessa dapati cuma lirikan tajam Agas alhasil Cessa cemberut.

Cessa tidak peduli lagi, perhatiannya berpindah sepenuhnya menyaksikan sosok gadis sangat-sangat mirip dirinya itu konsisten menunggang kuda, terkesan amat lihai, terkadang melakukan atraksi kecil-kecilan.

Kedua tangan tersebut memegang tali kekang, sesekali mengusap puncak kepala hewan berekor panjang itu. Dia belum mengeluarkan sepatah kata di saat Cessa berusaha setia menanti.

"Itu wujud lo di masa lalu, seribu tahun silam. Umurnya dua puluh dua." Mendadak Agas mengawali pembicaraan. "Intinya, Nayanika Aruna itu Cessa. Cessa adalah Nayanika Aruna."

"Masa, sih?" Cessa menggaruk tengkuk. "Tapi, aku nggak ingat apa-apa yang aku tau, aku itu, Cessa. Hidupnya menderita. Selalu jadi babu, dipukul, diludahin, dilecehin, setelahnya mati. Terus hidup lagi malah kalian ubah nama aku Princessa."

Agas terhenyak, butuh beberapa detik mencerna tiap terucap dibibir Cessa yang kelewat cepat.

"Dilecehin, maksudnya?" Sorot mata Agas agak menggelap, jari-jari di atas paha terkepal. Memandangi Cessa lekat.

"Hm, hina aku secara verbal maksudnya, " sahut Cessa lirih, menolak menyambut tatapan Agas yang terasa menakutkan. "Aku yang di sana versi bidadari, kalau ini versi buluk." Tunjuk Cessa ke wajahnya sendiri.

"Jangan bercanda!" Agas menyergah.

Cessa berdecak, sama sekali tidak tersinggung, Cessa menjelaskan jujur. "Kulit aku dulu itu pucat parah, katanya warna mata aku yang abu-abu itu aneh. Aku dibilang maniak mawar karena badan aku bau wangi mawar, faktanya, Kak Aga. Aku miskin mana sempat beli parfum kepikiran pun mana pernah!"

Agas membisu.

"Pokoknya banyak sampai aku ngerasa kayaknya aku borong kesialan dulu."

Seharusnya kami memanggil jiwanya lebih awal. Kaizar perlu tau adiknya sering direndahkan oleh orang-orang bodoh itu.

Agas menelan saliva. "Kalau gue ada di sana, udah pasti gue bakal perintahin Izal buat remas kepala mereka satu-satu, " timpalnya.

Cessa mesem-mesem bahagia. "Udah aku duga jawaban Kak Aga kaya gitu."

"Bukan cuma gue, tapi Kaizar dan Chester pasti lakuin hal yang sama." Agas berujar apa adanya.

"Oh, jadi kita punya cerita masa lalu berempat." Cesss berbisik ragu-ragu. "Kembali lagi aku nggak ingat apa-apa." Kepala Cessa menunduk, tampang muka Agas menyimpan dendam padanya membuat Cessa takut kemudian.

"Makanya setelah ini harus ingat, memori lo dalam bentuk mimpi yang kita alamin sekarang nggak mungkin berakhir sia-sia."

"Ternyata sia-sia gimana?"

"Gue bakal colok mata lo sampai buta."

"Sembarangan!"

Agas tertawa kecil sementara Cessa bersungut-sungut sebal.







***







Cessa hampir mengira lupa cara bernapas, tidak sempat berdiri karena sudah sangat terlambat. "Aku juga bilang apa, Kak Aga. Dia ke sini. Bisa lihat aku," gumamnya, melihat tanpa kedip sosok di depannya yang berjarak sekitar dua langkah.

"Dia enggak bisa liat kita." Agas bergumam sembari beranjak pada detik yang sama Cessa tambah panik, merasa ditinggalkan.

Agas benar adanya, namun ada sesuatu yang Nayanika cari di batang pohon Cessa duduki, matanya menilik dalam. Rupa mereka berdua sungguhan seperti pinang di belah dua.

"Sabiru, aku tau kamu di sana. Bantu aku!"

Tubuh Cessa sontak limbung ke belakang, punggung mencium tanah berlapis rumput saking kagetnya mendengar teriakan itu.

Cessa baru kembali bangun saat menangkap derap suara langkah kaki. "Dia siapa?" tanyanya lirih, merapatkan diri pada Agas.

"Sebentar lagi lo bakal tau." Agas bersedekap bikin Cessa menyipit curiga.

Semakin lama Cessa mengamati sosok lain berjubah gelap dipanggil Sabiru itu semakin menumpuk pula penasarannya, wajah tersebut tertutup apik tudung. Berdiri berhadapan dengan versinya yang lebih dewasa.

Cessa tidak mengerti, mengapa orang itu membungkuk hormat lalu sesekali memanggil Tuan Putri.

"Aku tidak suka di ikuti!" Suaranya sarat kekesalan.

"Anda bisa mengatakan itu pada Yang Mulia."

Mereka tampak beradu argumen sengit kemudian, sebenarnya hanya satu orang yaitu Nayanika. Cara bicaranya selalu ngotot yang membuat Cessa tak nyaman, beberapa kesempatan Cessa berpikir itu bukan dirinya.

"Butuh dua jam saya bisa menemukan Anda, Putri."

"Kamu ingin aku berbelas kasih dan berhenti melarikan diri?"

Tidak ada sahutan apapun sementara Nayanika melengos, berjongkok memunggungi, meraba-raba untuk kedua kali batang pohon.

"Tetap lah berdiri. Aku hanya sebentar," ujarnya ketus. "Aku menyimpan benda kesukaanku di sini, sekarang hanya kamu seorang yang tahu, Sabiru." Wadah anak panah berbentuk bumbung dia peluk.






***




Agas tertawa, menikmati raut muka kaget Cessa padahal seingatnya telah menjelaskan, jika nanti akan bertemu Kaizar dan Chester meski dalam nama berbeda.

"Dia, Sabiru. Jika di istana seperti bayangan Yang Mulia Putra Mahkota. Abdi setia yang pernah gue kenal."

"Be ... gitu?"

"Iya."

"..."

"Lo mengenalnya sebagai Chester atau gue perlu panggil dia Papa Teter."

Cessa mendelik.

"Cih, coba Kak Agas ingat baik-baik, siapa yang maksa aku dengan panggilan itu sampai aku terbiasa."

"Lo bisa nolak, si Chester bajingan itu gila."

"Kalian sama gilanya."

Agas ingin sekali meraup wajah Cessa, paling tidak menjitak mulut saja itu sudah cukup agar gadis remaja di dekatnya ini diam.

"Aku gak nyangka," celetuk Cessa meneruskan. "Wujud kita kaya hantu, tapi kenapa aku bisa merasa sakit apalagi liat orang yang di sana."

Cessa semakin gelisah tiap memasuki lorong istana, membuntuti dua orang lebih dulu berjalan di depan mereka, salah satunya melepaskan jubah beberapa menit lalu hingga Cessa dapat mengenali.

"Terima sakit itu."

"Terpaksa."

Agas berhenti melangkah. Menatap wajah Cessa mengerut kesakitan sekaligus memerah.

"Sebentar lagi kita sampai, lo bisa mengenali siapa yang duduk di singgasana, jadi tahan sebisa mungkin," bisiknya.

Cessa tersenyum tipis. "Kak Aga, aku belum tau nama Kak Aga di masa lalu, Sabiru ternyata Papa Teter ... udah jelas yang itu Kak Kaizar." Mata Cessa berkabut oleh air.







****



Tinggalkan vote dan komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya. Jangan sider ya.

Terima kasih

Gummy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang