Selain penyesalan, bahagia juga datang diakhir.
—Maulana Rifaldi—Malam saat jam hampir menunjukan pukul 12 malam, Faldi masih berkendara mengikuti kemana alat pelacak yang ia dapatkan dari kepolisan menunjukan titik hentinya. Saat 200 meter lagi tiba, ia menghentikan mobilnya di tepi hutan dan melanjutkan jalan kaki menuju titik pemberhentian. Ia hanya tidak mau ketahuan jika sewaktu-waktu ada orang yang menemukan mobil asing terparkir di sekitar rumah sakit. Ia berjalan kurang lebih 200 meter jauhnya. Dengan bermodalkan center dan alat pelacak, ia akhirnya berhenti di semak-semak, dilihatnya di depan sana sebuah bangunan besar berwarna putih yang terlihat angker. Lampu yang hampir redup, tembok yang terlihat berlumut dengan akar liar yang melilit tembok yang sudah mengeropos.
"Masa ini sih tempatnya?" gumam Faldi tidak percaya.
Rumah sakit yang harusnya terlihat bersih dan terawat malah justru sebaliknya. Bangunan itu lebih layak di sebut rumah hantu dari pada rumah sakit. Namun karena alat pelacaknya berhenti dititik itu, jadi ia menutuskan percaya saja. Lagi pula selama ia menggunakan alat itu, dirinya tidak pernah keliru menggunakannya.
Faldi akhirnya berjalan lebih dekat lagi dengan bangunan rumah sakit yang terlihat sudah usang. Ia berhasil membuka pintu masuk yang tidak terkunci. Seperti menembus sebuah portal, ia terkejut saat melihat isi dalamnya, sungguh jauh berbeda dari yang dilihatnya di luar. Meski gelap dan terlihat redup, ia bisa melihat dengan jelas bagaimana rapinya fasilitas di sana yang menyerupai rumah sakit pada umumnya. Kursi tunggu yang tersusun rapi dan bersih, lantai kramik yang putih bersih, tembok yang sama sekali tidak terkelupas, dan repsesionis yang masih terlihat rapi lengkap dengan beberapa dokumennya.
Lorong sepi hanya terdengar suara jangkrik dan burung atau hewan nokturnal lainnya. Ia menelan ludahnya gugup sebelum melangkah lebih jauh lagi melewati koridor. Suara ketukan sepatu bergema sempurna saat dirinya merajut langkah. Setiap langkah yang ia ambil, tidak lupa ia melantunkan sebuah doa untuk menangkan debaran jantung yang berdetak lebih cepat. Sambil menyalakan senter, ia sekalian mengambil kamera untuk merekam setiap seluk bangunannya.
Langkahnya terhenti tepat di depan ruang instalasi lantaran bau amis seketika langsung tercium di hidungnya. Dengan tangan yang bergetar, ia memberanikan diri untuk membuka pintu instalasi tersebut.
Matanya seketika membelalak hebat dengan tangan yang menutup hidung dan mulutnya, bahkan bernapas saja sulit saat melihat lima mayat telanjang yang tergeletak bertumpuk di pojok ruangan dengan darah kering yang tercecer di lantai, serta satu lagi masih berada di brankar. Yang lebih mengejutkannya lagi karena perut para mayat itu terbuka tanpa organ, juga wajah yang tetutup oleh perban putih yang sudah berwarna kecoklatan. Faldi yakin jika dibalik perban itu tidak ada matanya, warna merah kecoklatan itu berada tepat sejajar di area mata. Mereka seperti korban ODGJ yang ditemukan di parit tempo hari.
Faldi lantas mendekat dengan merekam seluruh ruangan yang ada di sana. Pria itu benar-benar-benar diujung kemarahan. Siapapun pelakunya, mereka akan membayar semuanya dengan sangat berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
ILEGAL ✔
AcciónNama pria itu Reizan Giedeon (34), seorang dokter yang bekerja keras demi mendapatkan kariernya. Sejak istrinya meninggal bersama anak yang sedang dikandungnya, ia menjadi terpuruk hingga kehilangan jati dirinya. Keserakahan dan dendam mengubahnya m...