"Sayang, kau sudah pulang?"
Tangan Suzy langsung mengepal kuat, ia baru saja menginjakan kaki di rumahnya dan yang ia mau hanya ketenangan. Akan tetapi kenapa ia malah melihat orang tua dan kakaknya di sini?
Apa Jinyoung masih belum mengerti bahwa ia hanya ingin sendiri saat ini? Apa penjelasan Suzy masih kurang rinci?
"Aku pikir aku sudah memberikan jawabanku pada Jinyoung tadi?" Suara Suzy terdengar lelah. Ia hanya ingin segera istirahat.
"Mama minta maaf, mama yang meminta Jinyoung untuk membukakan pintu. Mama merindukanmu." Jieun menggenggam erat kedua tangan Suzy. Berharap anak gadisnya tidak salah paham dan berakhir dengan mereka yang perang dingin.
"Aku benar-benar hanya ingin istirahat." Bisik Suzy. Untuk bersuara saja rasanya ia sudah tidak sanggup. Lelah, sungguh.
"Sayang, ada yang harus kita bicarakan. Sebentar saja." Joongi ikut buka suara. Mendekati Suzy dengan tangan yang langsung mengusap halus puncak kepala Suzy.
Suzy menghela nafas lelah, menyadari tatapan Joongi yang kini tertuju pada jemarinya yang sudah kosong tanpa cincin. Tertawa singkat, Suzy melepaskan genggaman tangan Jieun.
"Ya, aku dan Myungsoo sudah selesai. Sepertinya aku tidak perlu menjelaskan hal ini lagi aku rasa? Aku yakin kalian juga pasti sudah lebih dulu tahu. Tak heran jika ijin menginap bisa keluar dengan begitu mudahnya." Suzy mengusap wajahnya. Mata madu miliknya sudah berkaca-kaca, mau selama apapun sesak itu tetap masih ada dan Suzy tidak bisa melupakannya begitu saja.
"Sayang, kami hanya tidak bisa memberi tahu padamu lebih dulu. Myungsoo sudah memohon agar dia saja yang langsung membicarakan hal itu padamu." Jieun mencoba menjelaskan secara rinci. Tidak ingin anak gadisnya ini tersakiti untuk yang kesekian kalinya.
"Lalu aku rasa semuanya sudah jelas, tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Aku sudah tahu dan kalian juga sudah tahu. Lalu?" Menarik nafas dalam, Suzy mengangguk paham.
"Tolong, aku benar-benar sudah lelah. Aku hanya butuh waktu sendiri. Aku mohon."
Gigi Jinyoung mengatup rapat menahan emosi. Berjalan cepat menuju posisi orang tuanya dan Suzy. "Setidaknya dengarkan dulu penjelasan orang tuaku. Kita memiliki alasan masing-masing, walau kami bukan keluarga kandungmu setidaknya hargai kami sedikit yang sudah bersamamu."
"Jinyoung!" Marah Jieun. Menatap anak sulungnya yang sudah tersulut emosi.
Air mata yang sudah Suzy tahan sedari tadi langsung turun melewati pipi gembilnya. Entah kenapa Suzy merasa ia sangat sensitif hari ini.
"Oleh karena aku bukan keluarga kandung kalian, aku mohon tinggalkan aku sendiri. Aku hanya ingin waktuku sendiri Nyonya dan Tuan Park." Suzy tahu ini tidak pantas, akan tetapi sungguh, Suzy juga lelah.
"Aku akan segera mengurus surat kepindahanku agar Keluarga Park tidak perlu merasa terbebani lagi." Mengusap cepat kedua pipinya, Suzy membuka pintu dengan lebar.
"Silakan."
"Sayang, dengarkan mama dulu, ya? Tolong maafkan Jinyoung, kalian sama-sama lelah, jadi sama-sama mudah terpancing emosi. Tenang dulu, ya?" Jieun mencoba untuk membujuk Suzy. Mengusap wajah yang sudah mulai menyembab karena air matanya sendiri.
Tubuh Suzy langsung meluruh ke atas lantai. Berlutut pada Jieun yang masih mencoba untuk menenangkannya. Suzy tahu ia seperti manusia tak tahu diri, tidak tahu terima kasih, dan sembrono. Tapi hanya ini yang bisa ia lakukan.
Joongi menepuk pelan bahu Jieun, mengangguk samar untuk mengajak keluarganya keluar dari sini sebelum Suzy benar-benar menggila dan melakukan hal yang tidak-tidak.
"Papa akan berkunjung lagi saat suasana hatimu sudah tenang, jika terjadi apa-apa jangan ragu untuk mengabari papa. Kau tetap anak gadis papa, ya?" Joongi memeluk Suzy, mengusap pelan punggung sempit yang selama ini selalu menahan semuanya sendiri. Sebelum benar-benar pergi, Joongi menyempatkan diri untuk mengecup pelan puncak kepala Suzy.
"Papa menyayangimu."
Pintu terturup pelan, menyisakan Suzy dengan keheningan yang ia inginkan. Akan tetapi bukan rasa tenang, yang Suzy dapatkan melainkan rasa sesak yang mencekik lehernya.
Berjalan cepat menuju dapur dengan mata yang bergerak gelisah. Benda yang selama ini sudah ia sembunyikan, kini keluar lagi dengan tujuan yang sama seperti sebelumnya.
"Kami bukan keluarga kandungmu."
"Berhenti membuat masalah."
"Mereka hanya kasihan karena kau sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Sadar diri!"
"Kau pembawa sial, seharusnya kau pergi mati bersama kedua orang tua kandungmu. Menyusahkan!"
"Kau anak pembawa sial, seharusnya anakku tidak pernah melahirkan dirimu!"
"Hks." Suzy terisak, suara di dalam kepalanya selalu berputar-putar dengan kalimat yang sama. Menyakitkan.
"Seharusnya aku tidak ada. Seharusnya aku tidak masuk ke dalam keluarga mereka. Seharusnya aku pergi bersama mama dan papa." Suzy bergumam tak jelas. Mengulang kalimat yang sama sebelum benda kecil pada genggaman tangan kanannya mulai ia bawa untuk menggores pergelengan tangan kirinya.
"Aku seharusnya bersama mama dan papa, aku tidak seharusnya meninggalkan mereka."
Aliran merah pekat mulai menetes di atas lantai dengan aroma karat yang begitu tercium kuat.
"Aku seharusnya berama mama dan papa, hks."
**
Hyunjin dan Yeji menatap wajah Sehun yang sudah tertekuk tidak bersahabat. Saling senggol untuk menetapkan siapa yang seharusnya bertanya untuk memastikan keadaan Sehun.
"Kau saja, kau lebih tua dari aku." Bisik Yeji. Mendorong Hyunjin dengan sikunya yang tajam bukan main.
"Kau saja, kau anak perempuan satu-satunya. Kau pasti akan aman." Hyunjin mendorong Yeji balik. Tidak mau ia mati sendirian. Mereka lahir berdua, mati juga harusnya tetap berdua.
"Kau saja, pria apa kau ini?" Sinis Yeji kesal. Seharusnya Hyunjin malu dengan jenis kelaminnya ini.
"Untuk sekarang menjadi wanita bukan hal yang buruk!" Tolak Hyunjin. Malas sekali, Hyunjin. Sehun jika marah menyeramkan!
"Ada masalah, Dad?" Jasper datang dengan segelas mineral dingin untuk Sehun. Duduk di sisi kiri pria dewasa itu dengan mata yang terfokus pada siaran televisi.
Alis Sehun berkerut. Memikirkan masalah apa yang Jasper tanyakan ini. "Masalah? Sepertinya tidak." Sehun menjawab sekenanya.
"Lalu ada apa dengan wajah tidak bersahabatmu itu?" Jasper tidak mengerti. Jika tidak ada masalah seharusnya aman itu ekspresinya. Kenapa malah seperti ingin memakan orang?
"Benar, ada apa dengan wajahku?" Sehun juga tidak paham. Ia uring-uringan seharian ini. Mencoba menghubungi Bae Suzy, akan tetapi tidak mendapatkan apa yang ia inginkan. Pesannya tidak dibaca, telfonnya tidak dijawab.
Ada apa sebenarnya?
"Sepertinya karena Bae Suzy tidak membalas pesanku dan juga tidak menjawab panggilanku." Sehun menyimpulkan sebisanya. Ini adalah kemungkinan terbaik yang ia rasa sangat masuk akal.
Jasper menghela nafas lelah, umur sudah tua kelakuan masih seperti remaja pubertas. Menggelikan. "Kalian sudah bersama seharian ini, masih kurang? Tidak ingin mengajaknya tinggal bersama saja?" Sarkas Jasper. Dia pikir ada masalah besar.
"Bae Suzy sudah tidak di kantorku lagi, sudah ditarik oleh kakek kalian dia." Menggeleng, Sehun semakin merasa cemas. Apa sudah terjadi sesuatu di sana?
Jasper tarik lagi kata-katanya, benar. Ini masalah besar.
Ehehe
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Hope
FanfictionSuzy tak pernah meminta lebih akan sesuatu dalam hidupnya. Menapaki jalan yang sudah disiapkan oleh dua sosok yang selalu ia panggil dengan sebutan mama dan papa. Menjalani sisa hidupnya dengan semua rasa bersalah yang sudah ia pendam selama bertahu...