Ch. 9

221 42 1
                                    

"Aku akan berkunjung lagi minggu besok. Seminggu ini aku harus dinas keluar kota. Baik-baik di sini, jika ada sesuatu segera hubungi rumah." Bergacak pinggang, Jinyoung menunjuk batang hidung Suzy yang langsung mengangguk malas.

"Cerewet." Bisik Suzy.

"Kau adikku satu-satunya, wajar aku khawatir." Gemas Jinyoung. Mengacak-ngacak kepala Suzy dengan tangan kanannya.

Grep.

"Terima kasih, Oppa." Memeluk Jinyoung erat. Suzy tertawa pelan, ia sudah menantikan momen-momen seperti ini. Saat ia merasa bebas tanpa beban apapun.

"Hati-hati, kabari aku jika terjadi sesuatu."

"Pikirkan lagi tawaran yang aku berikan padamu tadi. Bagaimanapun juga itu adalah milikmu dari awal." Bisik Jinyoung. Merapikan helai rambut Suzy yang sudah ia acak-acak tadi.

"Akan aku pertimbangkan."

Melambaikan tangannya saat mengantarkan kepergian Jinyoung, Suzy tersenyum tipis. Itu adalah kali pertamanya ia membahas masalah itu dengan keluarganya yang sekarang. Biasanya Suzy akan menutup rapat semua masalah masa lalunya.

Jinyoung menatap Suzy yang masih sibuk dengan ayam bumbunya, satu kaki terangkat menopang siku dengan mata yang tertuju pada layar televisi.

Benar-benar gambaran anak kecil kesayangan Jinyoung.

"Suji." Panggil Jinyoung. Meletakan piringnya di atas meja dengan mata yang menatap fokus pada Suzy. Panggilan kesayangannya akhirnya keluar juga setelah sekian lama.

"Eung?" Berdengung tak peduli, Suzy masih menatap layar televisi dengan khidmat. Telinganya masih bisa fokus mendengar Jinyoung tenang saja.

"Sujiii." Panggil Jinyoung lagi. Ia butuh atensi Suzy seratus persen hanya tertuju padanya. Ini masalah serius yang ingin Jinyoung bahas.

"Ada apa?" Mengalah, Suzy menatap Jinyoung walau masih dengan mulut yang mengunyah ayam gorengnya.

"Ini sudah sepuluh tahun. Kau benar-benar tidak ingin mengambil kembali asetmu?" Tanya Jinyoung. Mengusap lembut noda saos pada sekitaran bibir Suzy yang berserakan.

Kunyahan Suzy terhenti untuk beberapa saat. Menatap kosong pada piring ayamnya dengan senyum tipis yang Jinyoung tahu gadis ini benar-benar sedih sekarang.

Setelah beberapa detik, Suzy memutuskan untuk menggeleng pelan. "Tidak, aku baik-baik saja dengan kondisi yang aku miliki saat ini." Tolak Suzy.

"Kenapa?" Menghela nafas, Jinyoung wajar saja menyuarakan kata-kata itu.

"Bohong jika aku katakan aku tidak ingin, hanya itu satu-satunya peninggalan orang tuaku. Akan tetapi untuk sekarang aku belum pantas untuk itu." Mata Suzy sudah berkaca-kaca. Selama sepuluh tahun ini, tak sekali pun ia membahas masalah ini dengan siapapun. Tidak dengan Jinyoung pun.

"Apa menurutmu mereka pantas? Semua ini ulah mereka. Jika kau memang ingin katakan saja, aku, mama, dan papa akan membantumu mendapatkan kembali perusahaannya. Surat resmi masih di bawah pengawasan papa." Jinyoung menangkup kedua pipi Suzy. Menekan pelan buntalan berisi daging itu, Jinyoung tahu ini bukan waktu yang tepat membahas ini saat makan malam. Hanya saja, kapan lagi?

Selama ini Suzy selalu menghindar jika mereka sudah mulai masuk dalam pembicaraan serius ini. Tapi sekarang Suzy sudah cukup dewasa dan ini adalah waktu yang tepat.

"Aku... beri aku waktu."

Menghela nafas lelah, Suzy berjalan gontai menuju kamar. Menatap pada meja nakasnya, Suzy memandang foto keluarganya. Dimana ia duduk dengan senyum lebar di tengah kedua orang tuanya.

Last HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang