"Kau baik-baik saja? Kenapa matamu bengkak seperti itu?" Jiyeon langsung memutar tubuh Suzy agar menghadap padanya.
Apa yang terjadi pada temannya ini?
"Tak apa, hanya mimpi buruk." Suzy menepis tangan Jiyeon di bahunya. Jantung Suzy bahkan masih berdetak kencang karena mimpi semalam. Memang sialan sekali, terlebih ia ada kelas pagi. Kurang menderita apa Suzy?
"Kau tidak ada kelas lagi bukan? Pulang saja." Jiyeon khawatir, setiap mimpi buruk Suzy pasti akan kehilangan setengah dari semangat hidupnya yang memang tidak seberapa itu.
Jiyeon kasihan.
Menggeleng, Suzy hanya merebahkan kepalanya di atas meja dengan beralaskan buku paket yang baru saja ia pinjam dari perpustakaan.
"Aku di sini saja." Tolak Suzy.
"Jika kau tidak mau pulang ke sana. Pergi ke apartemenku. Tidak ada siapapun di sana. Tidur." Berdecak kesal, Jiyeon langsung menarik bahu Suzy untuk duduk tegap. Menatap mata bulat itu dan memberikan Suzy kunci apartemennya.
"Aku akan pulang sore, pastikan kau makan dengan benar di sana. Aku akan meminta tolong pada Jongin untuk membawakan makanan untukmu. Tak ada bantahan, hidup sudah susah, jangan makin kau buat susah." Sinis Jiyeon. Segera menarik Suzy untuk berdiri dan mendorong pelan bahu sempit itu.
Tak banyak bicara, Suzy memilih untuk mengalah. Tak ada salahnya juga bukan untuk beristirahat sebentar.
"Terima kasih."
Mengangguk semangat, Jiyeon melambaikan tangannya pada punggung sempit yang sudah mulai menghilang itu.
Setelah memastikan tidak ada lagi siluet tubuh Suzy, Jiyeon langsung meraih ponselnya dan menghubungi seseorang di seberang sana.
"Tolong antarkan makanan ke apartementku. Jika kau tidak mau, tidak akan aku bantu lagi kau dengan sepupuku." Tak ada salam pembuka, Jiyeon memberikan ultimatum yang tentu saja akan langsung membuat siapapun di sana langsung naik darah.
"Sial, iya aku antarkan. Tidak usah mengancam seperti itu kau. Apa tidak bisa kau beli sendiri?" Suara di ujung sana nampak protes tak terima. Ia bukan pengangguran yang tidak ada kerjaan ini. Urusannya juga banyak.
"Bukan untukku, untuk Suzy! Belikan saja apa susahnya, pelit sekali kau ini."
"Iya, aku belikan!"
**
Berjalan pelan di tengah lorong, Suzy bahkan sudah tidak dapat lagi merasakan pijakan kakinya sendiri. Tidak, Suzy tidak sakit.
Ia hanya merasa... kehilangan begitu banyak energi hari ini.
"Kau baik, Kecil?"
Suzy mengangkat kepalanya dan mendapati Jongin sudah berdiri di sana dengan satu kantong besar yang nampaknya berisi makanan.
"Aku baik, pasti Jiyeon yang memaksamu bukan? Maafkan aku." Membungkuk tak enak, Suzy rasa ia sudah merepotkan banyak orang di sini. Apa lebih baik ia pulang saja ya?
"Tak apa, aku senang membantumu. Aku akan mengantarmu masuk, ayo." Pria itu, Jongin, menggiring Suzy untuk masuk ke dalam ruangan mewah yang tentu saja milik Jiyeon ini.
"Kau pasti sibuk dengan urusan perusahaan, maaf merepotkan." Suzy berujar tak enak. Ia yakin pria ini sangat sibuk, setahu Suzy perusahaan Jongin akan ada projek besar dengan perusahaan sebelah.
"Tak apa, itu masih bisa aku kendalikan. Jangan membebani dirimu sendiri." Jongin mengibas santai tangan kanannya. Menaruh kantong belajaannya di atas meja dan mendudukan Suzy di atas kursi panjang ruang tamu itu.
"Nah, karena aku ada rapat. Aku akan meninggalkanmu di sini. Jika kau merasa sudah merepotkan aku, tolong habiskan makanan ini. Byeee." Mengusak pelan surai hitam Suzy, Jongin berlalu dengan sedikit terburu-buru. Sial, jangan sampai ia terlambat untuk ini.
"Terima kasih."
"Sama-sama, Bayiii."
**
"Bagaimana para keponakanku?" Yifan bertanya santai dengan mata yang fokus menatap jalanan di bawah sana. Ini belum jam makan siang dan ia jujur saja malas melanjutkan pekerjaannya sekarang. Hanya lelah, tak ada alasan lain.
"Yang mana?" Sehun berujar malas, anaknya banyak ini. Yang mana yang pria ini tanyakan, lebih jelas kalau bicara sialan. Membuat Sehun naik darah saja.
"Semua, Bajingan! Kapan aku pilih kasih pada anakmu?" Sinis Yifan. Hal sepele seperti itu saja masih harus Yifan jelaskan? Memancing emosi saja pria satu ini.
"Jasper kuliah, si kembar sekolah, si kecil pasti tengah tidur sekarang." Sehun membayangkan anak bungsunya yang pasti masih bergelung nyaman di bawah selimut dengan suhu dingin dari pendingin.
"Si kembar akan kuliah dimana? Ini tahun terakhir mereka bukan?" Yifan lebih tertarik dengan ini, apa Sehun akan memaksanya untuk mengambil alih perusahaan atau bagaimana.
"Mereka belum membicarakan apapun padaku tentang itu." Sehun juga baru ingat, dua anak itu kenapa diam-diam saja ya? Tidak ingin kuliah kah?
"Mereka yang memilih sendiri atau ada campur tangan paksaan darimu?" Yifan yakin adiknya tidak akan seperti itu, hanya saja Yifan tidak yakin juga, mana tahu pria kecil ini sudah berubah menjadi iblis buruk rupa semenjak kejadian itu.
"Biar saja mereka sendiri, mereka tahu mana yang cocok dengan mereka mana yang tidak." Duduk santai pada sofa hitamnya, Sehun ingin pulang saja rasanya. Lelah sekali hari ini. Astaga.
"Kau tahu, dad akan memintamu untuk mengurus perusahaan barunya." Yifan duduk di depan Sehun. Lebih baik ia beri tahu sekarang dari pada adiknya ini serangan jantung nanti.
Alis Sehun langsung menukik tak terima. "Kenapa aku? Kenapa tidak kau saja?"
"Aku melanjutkan yang di sini tentu saja bersama Suho." Yifan tertawa penuh kemenangan. Senang sekali ia melihat raut frustasi dari adiknya ini.
"Suho juga di sini? Lalu bagaimana dengan sekretaris baruku?" Sehun tak terima, sudah dipindahkan tanpa persetujuan, sekretarisnya juga harus tetap tinggal di sinu. Apa ini maksudnya?!
"Dad akan mencarikannya untukmu."
"Tua bangka sialan!"
**
Brak.
"Daaad! Kenapa kau memindahkan aku ke perusahaan baru? Dan terlebih kenapa kau memberikan Suho pada Yifan?" Sehun yang sudah kepalang naik darah langsung mendobrak pintu ruangan ayahnya. Tak peduli jika tua bangka itu gagal jantung nantinya. Sehun benar-benar kesal.
Siwon yang memang tengah membahas masalah pemindahan ini bersama Suho langsung menoleh tanpa minat pada Sehun.
"Hanya hingga sekretaris Yifan selesai dengan pengobatannya. Bersabarlah sedikit." Siwon menghela nafas lelah, heran saja ia, punya anak sudah hampir kepala tiga kelakuan masih saja seperti anak remaja belasan tahun.
"Kenapa tidak kau carikan saja sekretaris baru untuknya langsung? Kenapa harus mengambil milikku?" Tanya Sehun lagi. Benar-benar tidak terima Sehun ini, sungguh.
"Kau tahu sendiri sulit mencari orang baru untuk kakakmu yang satu itu. Sabar sedikit, ini tidak akan lama." Siwon mengusir Sehun dengan kibasan tangannya. Masih banyak yang harus ia urus ini. Si bungsu ini mengganggu saja.
"Kau benar-benar mengkhianatiku." Sehun menunjuk Suho dengan dramatis lalu berlalu pergi begitu saja. Sungguh ia tidak akan percaya pada siapapun lagi setelah ini. Sudah cukup sakit hati Sehun saat ini.
"Kau tak ingin menenangkan direkturmu itu?" Tanya Siwon pada Suho yang masih setia berdiri di sisi kanan kursinya.
"Biarkan saja, nanti akan aku belikan dia permen."
Sehun ngga bakal sedingin itu kawaaand
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Hope
FanfictionSuzy tak pernah meminta lebih akan sesuatu dalam hidupnya. Menapaki jalan yang sudah disiapkan oleh dua sosok yang selalu ia panggil dengan sebutan mama dan papa. Menjalani sisa hidupnya dengan semua rasa bersalah yang sudah ia pendam selama bertahu...