46. SEBUAH KENYATAAN

106 7 0
                                    



"Lihat!" bentak pria paruh baya yang mengenakan kemeja putih itu sambil menyodorkan ponsel berisi video CCTV, ia baru saja melempar jas birunya ke sofa berwarna mocca di depannya.

Video tersebut memperlihatkan Gressa, Gina, Chaca, Devta, Ana dan Ani yang tengah menyeret tubuh Hera ke ruang ganti.

"Pa-pah da-pat ini dari mana?" tanya Gressa terbata-bata, tubuhnya gemeteran hebat.

"Kamu ga perlu tahu saya dapat ini dari mana-"

"Yang jelas, saya malu punya anak seperti kamu!"

Deg!

Dunianya seakan runtuh, Gressa tak bisa berhenti menangis, bahkan penyesalan pun tak akan berarti lagi jika semua sudah begini.

"Gerssa kayak gini juga gara-gara Papah!"

"Papah yang mulai semuanya!"

Untuk kesekian kali, tamparan itu mendarat di pipinya, rasa sayang yang dulu tinggal sedikit kini berubah jadi benci yang teramat dalam pada sang Ayah.

"Apa kamu bilang?!" tanya Aditama semakin keras.

"Iya, semua emang karena Papah!"

"Semua karena aku pengen ngerasain kasih sayang Papah!"

"Aku cuma pengen Papah adil!"

Gressa mengacak-acak rambutnya, ia tak kuasa lagi melihat wajah pria di hadapannya, sejak Mamanya meninggal ia sudah tak mengenali sosok orang tua di hidupnya.

"Aku cuma pengen sekali aja, Papah dengerin perasaan aku!" teriaknya sekuat tenaga.

Melihat hal itu Aditama hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Kamu benar-benar sudah gila!"

"Aku gila?" tanya gadis delapan belas tahun itu tak habis pikir.

"Lalu Papah apa?"

"Papah ga punya hati!"

"Kamu yang ga punya hati! Kamu hanya memikirkan diri kamu sendiri!" bantah Aditama kembali menunjuk wajah putrinya yang kemerahan.

"Apa yang kamu lakukan itu kriminal, saya bisa saja bawa rekaman ini ke polisi," lanjutnya tanpa memikirkan perasaan sang anak.

Gressa menatap mata kecoklatan itu, dengan hati teriris-iris Gressa melangkah mundur. "Maksud Papa Gressa egois?"

"Terus Papa apa? Papa cuma mikirin perasaan Hera bukan Gressa!" Sontak hal itu membuat amarah Aditama semakin terpacu, belum sempat ia mengangkat tangannya putrinya kembali berujar, "Tampar aja Pa!"

"Ayo tampar lagi!" sentak gadis itu sesekali jemarinya menyekat air mata yang sedari tadi jatuh.

"Dasar anak kurang ajar!"

"Gressa lebih baik Papa tampar atau Papa bunuh sekalian!" Isaknya tak juga melepaskan pandangannya dari wajah pria itu, makin lama netranya kian perih.

"Buat apa Gressa hidup kalau ga pernah dihargai? Gressa punya Papa tapi kaya ga punya orang tua!"

"Atau emang Gressa bukan anak kandung Papa?" Lagi dan lagi, pertanyaan itu keluar dari mulut Gressa.

Kali ini mulut Aditama terbungkam, jantungnya seolah berhenti berdetak, sesekali putrinya memukuli dadanya dengan kedua tangannya.

"Kenapa Papah diam?"

"Jawab Pah!" sentaknya tak berhenti memukul sang Papa.

"Kamu mau tahu jawabannya?" tanya balik pria itu, tak seperti sebelumnya, matanya yang berapi-api kini teduh bahkan berair.

Catatan Abu-abu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang