54. SELESAI

278 12 1
                                    


Hari selasa entah mengapa sejak pagi tadi Hera tidak melihat kehadiran Arsyad, karena jam pertama kosong, ia dan Leni memilih untuk memainkan ponselnua masing-masing, Hera menatap nomor Arsyad yang masih terblokir.

Ngapain sih gue mikirin dia, batin Hera lalu mematikan ponselnya kemudian menaruhnya di atas meja.

Sementara itu, Rio sedang menelpon Arsyad, ia rasa ada yang tidak beres pada sahabatnya itu.

"Syad lo dimana sih?"

"Kenapa ga berangkat?"

"Lo sakit?"

Pertanyaan beruntung itu keluar begitu saja dari mulut siswa bertubuh gempal yang duduk di belakang bangku kosong pertama.

"Gue lagi ada di bandara," Jawab suara lelaki dari dalam telepon.

"Lo ngapain di bandara?" Tanya Rio dengan nada tinggi, karena kaget Hera pun menoleh ke arahnya.

Bandara? Mau apa Arsyad kesana? Ah tapi itu bukan urusan gue.

"Gue hari ini mau pindah ke London."

Rio langsung menepuk jidatnya, "Astaga kenapa mendadak?"

"Nanti gue jelasin."

"Terus soal Hera gimana?"

Fandy yang duduk di samping Rio menepuk bahu sahabatnya. "Pelan-pelan bego," Bisiknya.

"Hera udah ga peduli lagi sama gue." Suara itu terdengar lirih.

"Gue nitip sesuatu buat Hera ya," Lanjutnya.

"Apa?"

"Video nanti gue kirim."

"Video apaan?"

"Adalah pokoknya, jangan lo buka loh!"

"Ga video bokep kan?"

"Engga lah anjir!"

"Yaudah aman."

"Udah dulu ya, gue mau boarding." Tak lama setelah kata-kata itu Arsyad mematikan teleponnya membuat Rio bertanya-tanya, video apa yang sebenarnya Arsyad maksud?

Selang beberapa detik sebuah video dikirim dari pesan whatsapp Arsyad.

Arsyad:
_Video_
"Tunjukin ini ke Hera ya."

Melihat suasana kelas yang hening karena rata-rata temannya pada memainkan ponselnya, Rio pun berdiri, pemuda berseragam putih abu-abu itu berjalan menghampiri Hera.

"Hera," Panggilnya pelan.

"Kalau soal Arsyad gue ga mau denger," Ucap Hera sebelum Rio mengatakan apa-apa lagi.

"Arsyad hari ini berangkat ke London."

"Dia ga akan ganggu lo lagi."

Deg!

Entah mengapa mendengar pernyataan itu yang seharusnya Hera senang kenapa hatinya malah terasa sakit?

Bukankah perasaannya sudah menjadi benci? Tapi kenapa ada hal yang seolah tak bisa dijelaskan.

"Gue cuma mau nyampein video ini," Ungkap lelaki bertubuh gempal itu menyodorkan hapenya.

Gadis berambut kecoklatan itu pun membuka video yang berisikan Arsyad yang mengenakan kaos dan blazer hitam.

Isi video:

Hai Ra, aku tahu kamu pasti ga bisa maafin aku, soal chat itu aku berani sumpah itu bukan aku.

Sekarang seperti yang kamu minta, aku pergi, dan ga akan gangguin kamu lagi.

Tapi satu yang harus kamu tahu, sampai kapan pun aku akan tetap mencintaimu, bahkan sampai maut nanti menjemputku.

Terima kasih ya Ra, kamu sudah mengenalkan apa itu cinta, aku harap kedepannya kamu akan lebih bahagia meskipun aku ga ada di sana.

__________

Setelah menonton video itu hati Hera seperti dirobek-robek, tanpa ia sadari air matanya pun telah mengalir sedari tadi.

"Gue mau ke Bandara," Ujarnya lalu berdiri, gadis itu berlari menuju ruang kelas Kakaknya.

Kedua gadis itu pun berhasil izin ke guru dengan alasan Hera sakit, mereka langsung menuju bandara, sial jalanan macet parah.

"Argh sialan!" Cetus Hera yang tak sabar, sementara Gressa terus mengklakson mobil di depannya.

Perjalanan yang seharusnya hanya setengah jam memakan waktu dua jam sampai mereka tiba di bandara.

Sialnya lagi pesawat yang ditumpangi Arsyad sudah berangkat dari satu jam lalu.

"Ini semua salah gue Kak," Isak Hera di parkiran depan Bandara, Gressa yang tak tega pun langsung memeluk tubuh adiknya.

"Seharusnya gue percaya sama Arsyad."

"Seharusnya gue ga egois."

Gressa menyekat cairan bening di pipi Hera yang terus menetes. "Udah, stop nyalahin diri sendiri."

Setelah hening beberapa saat, Hera tiba-tiba mencengkeram dadanya kuat.

"Ra, lo kenapa?"

Napas Hera tersengal-srngal rasanya begitu sesak, dadanya sangat nyeri sekali.

"Ra?"

"Sakit .." Rintihanya hampir kehilangan keseimbangan.

Tanpa pikir panjang Gressa langsung membawa adiknya ke rumah sakit.

*****

Setelah dipindahkan ke kamar inap biasa, Gressa meraung begitu keras, ia menangis bahkan berlutut di depan dokter Adam.

"Penyakit Hera sudah menyerang ke jantung, dan kita tidak bisa melakukan apa-apa lagi," Ujar pria berjenggor itu dengan berat hati.

"Enggak!"

"Adik saya pasti bisa sembuh!"

"Seharusnya dokter ga boleh gini dong!"

"Hera harus sembuh Dok!" Gressa benar-benar hancur, ia tak bisa membendung kesedihannya.

"Udah kak," Lirih Hera yang terbaring lemah dengan selang oksigen di hidungnya.

"Dokter Adam pasti udah melakukan yang terbaik," Lanjutnya membuat sang kakak semakin remuk.

*****

Dengan hati yang hancur, Hera berjalan menuju tangga roftoop sempoyongan, sembari melihat situasi gadis itu berusaha melangkah secepat mungkin.

Selang infus yang telah di lepas, dan baju khas rumah sakit yang dilapisi sweater membuat para suster tak menyangka bahwa Hera adalah pasien di sana.

Sesampainya di atas roftoop gadis itu berteriak sekeras mungkin, tak ada lagi harapan hidup untuknya, sekarang yang ia pikirkan hanya satu yaitu, "Mati."

Netranya memandang kebawah pembatas roftoop, terlihat beberapa mobil terparkir yang terlihat kecil, gemetaran kakinya mulai melangkah maju.

"Hera!"

Deg!

Suara itu?

"Arsyad?" Hera menoleh.

Sosok laki-laki behjaket coklat itu langsung memeluk tubuh Hera. "Aku kangen banget sama kamu."

"Adib, ko kamu bisa di sini?"

"Nemenin Mama chek up, seminggu lalu aku balik ke Jakarta."

Sayang, bukan Adib yang ia mau, Hera hanya menginginkan Arsyad.

SELESAI













Catatan Abu-abu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang