52. KEBOHONGAN

102 7 0
                                    

Lembaran hitam legam menyelimuti langit kota Jakarta, pada ruang tamu berarsitektur modern tropis dengan beberapa tanaman kakttdi dinding itu terdengar ricuh.

Tampaknya Shinta yang mengenakan dress lengan panjang warna merah yang duduk di samping mantan suaminya yang berbalut kemeja coklat, kedua orang itu berbicara sangat serius pada Arsyad yang duduk di sofa hitam depan mereka.

"Kami sudah tidak akan menyuruh kamu tinggal sama kami lagi, tapi kamu harus meneruskan sekolah di luar negri," Jelas Adinata, pria berjenggot tebal itu lalu menghisap rokok di tangannya.

"Disana kamu bisa melanjutkan kuliah kedokteran," Lanjut Shinta.

"Terserah kamu mau memilih negara mana."

Lelaki yang mengenakan kaos abu-abu itu menggelengkan kepalanya. "Tapi aku udah nyaman di sini," Balas Arsyad penuh penekanan di akhir kalimat.

"Lingkungan di sini ga bagus buat kamu, Arsyad," Bantah Shinta bersikukuh.

"Kami itu orang tua kamu, dan kami masih peduli sama kamu," Lanjut pria paruh baya berambut gondrong di sebelahnya.

"Peduli?" Tanya Arsyad lalu terkekeh.

"Kemana aja kalian selama ini?"

"Apa kalian pernah ada saat Arsyad butuh?"

"Kalian selalu sibuk sama keluarga baru kalian!" Arsyad beranjak bangkit, ia sudah sangat muak dengan sikap kedua orang tuanya.

Belum sampai satu menit, ayahnya sudah di telepon oleh keluarga barunya, tentu saja itu membuat Arsyad semakin yakin dengan pilihannya.

"Iya aku akan segera pulang," Ucap Adinata lalu menutup telepon.

"Kenapa?" Arsyad mendongakkan wajahnya kecewa.

"Papah harus pergi dulu," Ujar sang Ayah.

"Sekalian aja Mama pergi, keluarga kalian juga pasti udah nungguin," Ujar Arsyad, hatinya seperti dirobek-robek, ia sudah tidak mengenal lagi kata keluarga.

Ia seperti boneka yang dikendalikan oleh orang asing, bahkan Arsyad tak bisa merasakan kasih sayang dari kedua orang tuanya.

Kini di ruangan yang cukup luas itu hanya tinggal Arsyad dan Mamanya, keduanya hanya saling membisu sampai Shinta kembali memulai pembicaraan.

"Jangan bilang alasan kamu ga mau pergi karena cewek itu?" Tanya Shinta sinis.

"Hera?" Tanya Arsyad.

"Yah."

"Kenapa emang kalau alasan aku ga mau pergi itu karena Hera?"

"Kenapa kamu bilang?" Shinta membulatkan kedua matanya.

"Dia itu ga pantas buat kamu!"

Arsyad terkekeh renyah. "Kapan sih Mama nurutin kemauan Arsyad? Selalu aku yang ngalah, aku udah ikutin kemauan Mama, aku juga udah rela Mama sama Papa cerai."

"Sekarang aku cuma mau nentuin jalan hidup aku sendiri!" Tegas Arsyad.

"Aku cuma mau nemenin Hera Ma."

"Hera sakit!"

Shinta tersentak, dengan tenang ia malah berujar, "Bagus, mungkin itu karma buat dia."

Arsyad benar-benar sudah hilang akal dengan sikap Shinta, pemuda itu tak tahu lagi harus berkata apa.

"Mama punya hati ga sih?"

"Lebih baik Arsyad pergi daripada harus berdebat sama orang ga punya hati!"

Arsyad langsung menyambar kunci mobil di atas meja, tanpa ia sadari ia melupakan sesuatu, hapenya tertinggal di sana.

"Dasar keras kepala." Shinta mengelus pelan dadanya.

Catatan Abu-abu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang