Dewangsa Regan Maheswara, anak kedua dari keluarga Maheswara. Laki-laki idola sekolah namun rapuh di dalam. Bagi keluarga nya, Dewa tak lebih dari anak sial yang hadir di tengah keluarga Maheswara. Berbeda dengan Raja sang kakak dan Rea sang adik ya...
Jangan lupa memencet tombol bintang dan berkomentar untuk meramaikan cerita ini!
NO PLAGIARISME ⚠️⚠️⚠️
SIAPAPUN YANG MENEMUKAN KESAMAAN DENGAN CERITA INI HARAP LAPOR PADA AUTHOR!
Dengerin musiknya biar dapat feel nya!
Are you ready?
Oke let's go!
------ Happy Reading ------
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
-Terkadang kita terlalu sibuk dengan satu kesalahan hingga lupa jika tidak ada hari esok untuk sebuah ampunan-
•••
Banyak orang berkata jika pandai matematika berarti orang yang pintar. Banyak yang memuji jika berhasil meraih suatu prestasi. Namun tidak ada satupun yang melihat bagaimana seseorang itu berbakat di bidang lain. Apa yang mereka anggap sulit menjadi suatu kebanggaan bila seseorang berhasil dalam bidang tersebut. Tidak peduli bagaimana kerasnya berjuang, orang lain hanya akan melihat akhir dari perjuangan itu, entah berhasil ataukah gagal.
Seperti halnya Adrian. Ia menganggap Raja lebih unggul daripada Dewa hanya karena nilai akademik Raja lebih baik daripada Dewa. Padahal jika ia bisa memandang keduanya dengan setara, Dewa pun lebih unggul di bidang non akademik daripada Raja. Bentuk nyata dari Raja berupa nilai-nilai dan sertifikat yang bertumpuk di dalam sebuah rak buku. Sedangkan hasil prestasi yang diraih Dewa berupa piala-piala yang dihancurkan oleh Adrian.
Tok! Tok! Tok!
"Permisi Pak, maaf mengganggu waktunya."
Adrian menoleh ke arah pintu ruang kerjanya dan mendapati seorang sekretaris yang membuka pintu tersebut.
"Kenapa?"
"Ada Pak Bayu yang mau menemui bapak." ucap sekretaris itu.
"Suruh masuk saja."
"Baik Pak," sekretaris itu pun keluar dan memanggil orang yang bernama Bayu itu.
"Permisi,"
"Silahkan duduk."
Pak Bayu merupakan seorang staf yang bekerja di kantor. Laki-laki berumur kurang lebih empat puluh tahun itu menghadap Adrian dengan raut yang sedih.