Sebulan kemudian.
"Pak, sepertinya dia sudah pergi. Barang-barang pribadi disini sudah tidak ada," ucap salah satu penjaga rumah di tempat tinggal Adelia.
"Apa? Baik, terima kasih infonya," ujar om Fadly. 'Kurang ajar, kemana Adelia pergi?' Dia pun berusaha mencari tahu.
Setelah diselidiki, diketahui bahwa Adelia pulang ke kampung halaman di luar kota, ke rumah orang tua angkatnya.
°°°
"Kenapa kabur? Mau melanggar perjanjian? Saya bisa tuntut kamu!," ucap om Fadly menggelegar pada Adelia di panggilan telefon.
"Om, saya tidak melanggar perjanjian apapun. Saya tidak akan menuntut kalian untuk bertanggung jawab atas anak ini. Tapi maaf, sebagai ibunya, saya keberatan jika anak ini diambil oleh om dan tante," balas Adelia.
"Berani kamu! Saya punya bukti tertulis di tangan saya, kamu mau bicara apa lagi?"
Kemudian terdengar suara pria lain di telefon yang merupakan ayah angkat Adelia, mengambil alih pembicaraan ini.
"Pak Fadly, perkenalkan saya Edgar, papanya Adelia. Saya sudah cukup mendengar pembicaraan kalian. Berhenti mengancam anak saya. Mulai detik ini jangan menghubunginya lagi. Bapak tidak berhak atas apapun!"
"Haha jadi ini bapaknya? Bagus! Apa Adelia cerita bahwa dia sudah menandatangani surat perjanjian? Tolong ingatkan dia soal itu dan bertanggung jawab atas pilihannya," ucap om Fadly.
"Lucu juga bapak membahas tentang tanggung jawab, sedangkan anak sendiri tidak diajarkan tanggung jawab, dan ya saya sudah melihat isi surat perjanjian itu melalui foto di ponsel anak saya. Disitu tertulis bahwa Adelia akan menyerahkan anaknya untuk diadopsi oleh bapak dan istri, dengan syarat biaya cek up dan persalinan dibiayai oleh bapak."
Om Fadly mulai menyadari kesalahannya, ia berkeringat dingin. Ia tidak memperhitungkan kemampuan lawan.
"Sudah paham? Adelia tidak akan menerima sepersenpun uang bapak, jadi jangan harap untuk mengambil anak itu!," ucap pak Edgar.
Om Fadly mau tidak mau mundur dan mengalah kali ini. Setelah menutup panggilan, ia langsung cerita pada istrinya. Tante Silla mendengarkan dengan seksama.
"Sebenarnya bagus juga, pa seperti itu. Yang penting mereka tidak bisa menuntut Nathan maupun keluarga kita. Soal mereka mau mengasuh anaknya ya sudah, itu lebih bagus. Kita juga jadi tidak repot," komen tante Silla.
Om Fadly bimbang, biar bagaimanapun anak yang dikandung Adelia itu anak Nathan, cucunya juga. Sebagai laki-laki, ia merasa harus bertanggung jawab, tidak diam begitu saja.
Tante Silla menghela nafas, "ah elah, papa. Ya sudah kalau begitu kirim saja biaya bulanan ke mereka biar nama kita terlihat baik."
"Tapi... mama yang ngomong ya, papa gengsi kalau harus merendahkan harga diri papa kayak gitu. Kesannya tidak tegas dan konsisten," ucap om Fadly.
Tante Silla memutar bola matanya, namun ia menuruti suaminya.
"Adelia, ini tante. Maafin om ya tadi."
"Oh iya ya, Nathan baik. Sudah proses pemulihan."
"Anak di perutmu gimana, sehat? Oh, ya baguslah!"
"Ngomong-ngomong, Adelia. Tolong terima niat baik kami untuk tetap ambil andil membiayai anakmu. Biar gimana, itu cucu tante juga."
"Oh, tidak. Tante dan om sudah sepakat tidak merebutnya, jangan khawatir."
"Tolong terima, Adelia. Jangan membuat tante merasa bersalah."
"Oke kalau begitu, selamat tinggal.""Gimana, ma?," tanya om Fadly begitu tante Silla mengakhiri panggilan.
"Sudah oke. Mama nanti minta nomor bank Adelia. Tiap bulan papa kirim saja ke dia buat formalitas."
"Oke, ma."
KAMU SEDANG MEMBACA
Adelia
RomanceAdelia, seorang guru perempuan, berpacaran dengan murid laki-lakinya. Banyak rintangan dan kesulitan yang mereka hadapi. Haruskah kata-kata 'cinta tidak harus memiliki' mengakhiri hubungan mereka? Apakah cinta mereka akan tetap bertahan?