Adelia, seorang guru perempuan, berpacaran dengan murid laki-lakinya. Banyak rintangan dan kesulitan yang mereka hadapi. Haruskah kata-kata 'cinta tidak harus memiliki' mengakhiri hubungan mereka? Apakah cinta mereka akan tetap bertahan?
"Mama enggak ikut papa?," tanya Carolla, anak mereka yang berumur 10 tahun.
"No, honey. Mama lagi lelah," jawab Adelia.
"Okay, aku main sama kakak dulu ya di depan," ucap Carolla tanpa menunggu jawaban ibunya.
Sepeninggal anaknya, Adelia berbaring lagi di kasur dengan wajah merona merah membayangkan Arka yang menyetubuhinya pagi ini. Serangan fajar yang mendadak, namun mampu membuatnya orgasme dua kali.
"Can't wait for him to come home," ujar Adelia sambil tersenyum membayangkan suaminya.
°°°
Di departemen store.
Arka bersama asistennya, Radit sedang membeli hadiah hari raya untuk para karyawan.
"Sudah semua, pak?," tanya asistennya.
"Ya. Ayo kita kembali," ucap Arka. Mereka sama-sama menuju ke mobil.
"Tumben, kenapa repot-repot beli sendiri, pak? Kan bisa menyuruh saya saja seperti tahun lalu?," tanya Radit.
"Tahun ini saya sedang ingin beli sendiri entah kenapa. Lagipula sekalian saya mau belikan hadiah kejutan untuk istri dan anak-anak juga," jawab Arka sambil tersenyum.
Tiba-tiba Arka terdiam dan memegang dadanya, nafasnya sesak. Dia pun mengerang, "uugh..."
"Pak?," tanya Radit panik melihat wajah Arka yang pucat, seketika kemudian Arka pingsan.
"Pak Arka!!"
°°°
Di rumah.
Adelia terbangun dengan keringat di dahi. Ia bermimpi buruk Arka pergi meninggalkannya. Ia berusaha mengejar namun Arka tetap menjauh. "Kenapa aku mimpi seperti itu sih?"
Tepat pada saat itu, ponsel Adelia berbunyi membuatnya terlonjak kaget.
"Halo?"
"Halo, bu Adelia. Bapak Arka masuk rumah sakit, beliau pingsan!"
"Apa, Arka?!"
°°°
Mendengar kabar itu, dada Adelia terasa sesak dan sulit bernafas. Jantungnya berdebar-debar dan tubuhnya gemetar. Bergegas ia ke rumah sakit dengan kedua anaknya.
"Papa kenapa?," tanya Natalia. Ia dan Carolla menangis mendengar kabar ayah mereka masuk rumah sakit. Adelia tidak menjawab apa-apa, dirinya fokus menyetir sambil sesekali mengeluarkan air mata. Tadi Radit memberi penjelasan singkat bahwa Arka menderita penyakit jantung.
Apakah ini firasat tidak enak yang kurasakan sejak kemarin? 'Tuhan, semoga Arka baik-baik saja,' pikir Adelia.
°°°
Di rumah sakit.
Adelia, Natalia dan Carolla terkesiap melihat pria yang mereka sayangi terkapar pucat dan lemah dengan bantuan alat nafas.
"Arka, Arka...," panggil Adelia dengan sedih.
"Papa, papa, papa," panggil Natalia dan Carolla sambil menangis.
Arka pun membuka mata dan melihat keluarganya datang. Ia memberi isyarat pada perawat untuk melepas alat bantunya.
"Hei, ayo... anak-anak papa kan kuat... jangan... nangis ya," ucap Arka sambil tersenyum pada anak-anaknya. Mendengar itu, Natalia menghapus air matanya dan berusaha tersenyum tegar. Carolla pun mengikuti kakaknya.
Arka terlihat bangga melihat kedua anaknya. "Kemarilah...," ucap Arka lemah. Ia ingin memeluk anak-anaknya untuk terakhir kali. Natalia dan Carolla pun memeluk erat tubuh ayah mereka.
Natalia yang pintar sudah tahu dan memahami keadaan, "apa... papa akan pergi?," bisik Natalia.
Arka tersenyum mengangguk, "kalau papa pergi... jadilah anak baik... bantu mama, jaga adik... saling menjaga. Walau papa pergi, cinta papa akan... selalu menyertai kalian."
"Uhuk, uhuk," Arka terbatuk-batuk. Adelia, Natalia dan Carolla panik.
"Sekarang papa... mau bicara... berdua dengan mama ya..," ucap Arka.
Adelia yang dari tadi menangis menuntun anak-anak menunggu di luar dan meminta tolong Radit menjaga mereka.
"Arka... sayang," panggil Adelia saat mereka tinggal berdua.
"Ade..lia," panggil Arka. Ia tersenyum sambil memegang tangan istrinya. "Sampai disini... hidupku, aku sudah.. cukup... puas dan bahagia.. karena..mu, Adelia, terima.. kasih."
Piiiiiiip. Setelah mengucapkan itu, terdengar suara mesin rumah sakit yang menandakan Arka telah pergi.
Dokter dan perawat pun masuk untuk menolong Arka, sedangkan Adelia hanya membeku dan bersender di dinding melihat tubuh kaku Arka yang bagai tertidur.
Tak berapa lama kemudian, dokter mendekatinya, "maaf kami sudah berusaha semaksimal mungkin, namun pasien sudah tidak tertolong. Suster, tolong catat waktu kematiannya. Sekali lagi, saya turut berduka cita yang sebesar-besarnya."
Mendengar penuturan dokter membuat tubuh Adelia gemetar dan matanya melotot. Benarkah ini terjadi? Arkanya benar-benar sudah pergi? Hanya dalam sekejap begitu saja?
Tanpa berkata apa-apa lagi, Adelia langsung berlari keluar rumah sakit. Dalam hujan deras, ia berlari tak tentu arah cukup lama hingga dirinya terjerembab di tanah.
"Oh, Arka, kenapa kamu meninggalkanku sendirian? Meninggalkan anak-anak? Tuhan, kenapa? Kenapa kau ambil dia? Kenapa, Tuhan?," teriak Adelia sambil menangis histeris, kemudian ia pingsan.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.