Keesokan harinya.
Adelia tidak ada semangat hidup. Tatapannya masih hampa dan tidak ingin melakukan apa-apa. Untunglah ayah dan ibunya datang menginap, sehingga Natalia dan Carolla tidak terlantar.
Sekarang Adelia berada di kamar mengamati pakaian-pakaian Arka dengan muram. Ia mengingat setiap momen dari pakaian-pakaian Arka. Ada yang ia belikan, ada yang kekecilan, ada yang paling Arka sukai, ada yang mereka beli bersama, ada yang kembaran dengan bajunya, ada yang tidak Arka suka tapi ia paksa pakai, ada jas pengantinnya. Adelia memeluk pakaian-pakaian Arka sambil menangis. "Dasar jahat, katanya mau selamanya bersama!"
"Bi Mina, bi Minaaa!!!," teriak Adelia memanggil asisten rumah tangganya.
"Iya, nyonya?"
"Bawa seluruh pakaian-pakaian Arka ke halaman dan bakar semua!"
"Eh, tapi...," ucap bi Mina ragu-ragu.
Tanpa menunggu bi Mina, Adelia mengeluarkan sendiri pakaian-pakaian Arka dari lemari dan membawanya ke halaman.
"Aduh, nyonya... jangan..," ucap bi Mina. Ia merasa takut sekaligus prihatin melihat nyonyanya seperti ini. Ia pun berinisiatif memanggil om Edgar dan tante Luna.
Adelia menyalakan korek api dan membakar seluruh pakaian Arka di halaman.
"Mama, jangan!," teriak Natalia, kaget melihat pakaian-pakaian ayahnya yang terbakar membuatnya semakin sedih dan menangis tersedu-sedu.
Adelia mencegah Natalia mendekati kobaran api di halaman. "Jangan dekat-dekat api!"
Anaknya masih menangis histeris, Adelia merasa kepalanya sakit dan tidak kuat menahan Natalia yang memberontak, akhirnya ia pun pingsan.
"Mama, mama!," teriak Natalia memanggil Adelia. Ia panik melihat ibunya tiba-tiba terjatuh.
Om Edgar dan tante Luna datang mendatangi sumber keributan itu. Mereka panik melihat Adelia pingsan. Om Edgar langsung membopong tubuh Adelia ke kamar, tante Luna menyusulnya.
Tinggallah Natalia sendirian sambil menangis memandangi tumpukan pakaian yang sudah hangus.
"Natalia, ada apa?," tanya Nathan yang baru saja datang. Ia kaget melihat anaknya menangis.
"Papa Nathan, mama jahat! Baju-baju papa dibakar. Itu kan kenang-kenangan papa," ucap Natalia sambil menangis tersedu-sedu.
Melihat anaknya menangis seperti itu sangat melukai hati Nathan, ia pun langsung memeluk Natalia.
"Hei, sayang... semuanya akan baik-baik saja. I'm here now, okay," ucap Nathan berusaha menenangkan anaknya. Ia juga mengamati tumpukan pakaian hangus di halaman. 'Sudah separah itukah Adelia ditinggal Arka?'
°°°
Seminggu kemudian.
Saat ini di ruang tengah sudah berkumpul om Edgar, tante Luna, dan Nathan. Mereka sedang mendiskusikan hal penting.
"Om, tante. Sepertinya kondisi Adelia saat ini sedang tidak stabil dan berpotensi membawa pengaruh buruk untuk anak-anak. Aku memutuskan untuk membawa Natalia dan Carolla untuk diasuh sementara oleh keluargaku. Apa om dan tante keberatan?," tanya Nathan.
Om Edgar menghela nafas. "Kami juga sudah memikirkan ini, setiap hari Adelia hanya diam di kamar saja. Kami merasa kasihan pada anak-anak, mereka tidak hanya kehilangan sosok ayah, tapi juga ibunya," ucap om Edgar agak terisak.
Tante Luna juga menangis, "kami setuju karena kami rasa itu yang terbaik, tapi... tante mohon, jaga mereka dengan baik, terutama Carolla, karena..."
"Aku mengerti, tante. Jangan khawatir, aku akan menyayanginya sama seperti Natalia," ucap Nathan. Ia mengerti maksud tante Luna. Carolla bukan darah dagingnya, tapi Nathan janji akan menyayanginya seperti anak sendiri.
"Untuk Adelia... sepertinya ia harus dibawa ke psikiater. Aku mengenal psikiater yang bagus di kota ini. Jika om dan tante berkenan aku bisa membawanya kesana."
"Terima kasih, Nathan, tapi biar kami yang mengurus Adelia saat ini, nak. Kamu sudah cukup mengurus Natalia dan Carolla," ucap tante Luna.
"Tidak ap...," ucapan Nathan dipotong oleh om Edgar. "Benar, nak. Biar kami yang mengurus Adelia. Saya dan istri masih sanggup. Biarlah dia menjadi tanggung jawab kami, karena kami adalah orang tuanya."
Om Edgar kemudian mengenggam tangan Nathan, "om ingin mengucap maaf jika berkata begini, tapi sebaiknya kamu jangan terlalu sering menemui Adelia. Maaf, nak. Om harap kamu jangan tersinggung, tapi statusmu dengan Adelia bukan siapa-siapa. Apa jadinya jika dilihat orang-orang? Ini tidak baik untukmu juga Adelia. Lagipula..."
Nathan cukup terkejut dengan ucapan om Edgar, namun ia menunggu kalimat lanjutan yang akan diutarakan pria di depannya.
"Lagipula... kami agak khawatir, jika... Adelia melihatmu sebagai pengganti Arka."
"Maksudnya?", tanya Nathan tidak mengerti.
"Begini,nak...kondisi Adelia saat ini sudah sampai berada di tahap halusinasi. Kami khawatir jika dia melihatmu bukan sebagai Nathan, tapi sebagai Arka. Kami takut jika ia menganggap Arka masih hidup, maka dirinya akan semakin sulit menerima kenyataan dan sulit untuk sembuh. Saya tahu kamu adalah pria yang dicintai Adelia sebelum Arka. Karena itulah... kami tidak ingin pikirannya tercampur aduk dan semakin kacau," ucap om Edgar.
Nathan miris mendengar kalimat 'pria yang dicintai Adelia sebelum Arka,' namun ia berusaha mengerti dan menghargai keinginan om Edgar dan tante Luna.
"Baiklah, om dan tante. Jika menurut kalian itu yang terbaik", ucap Nathan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adelia
Roman d'amourAdelia, seorang guru perempuan, berpacaran dengan murid laki-lakinya. Banyak rintangan dan kesulitan yang mereka hadapi. Haruskah kata-kata 'cinta tidak harus memiliki' mengakhiri hubungan mereka? Apakah cinta mereka akan tetap bertahan?