Hai, Selesai. [52]

321 35 4
                                    

FOLLOW DAN VOTE SEBELUM MEMBACA!

HAPPY READING!

Arul berlari menyusuri lorong rumah sakit dengan napas yang memburu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Arul berlari menyusuri lorong rumah sakit dengan napas yang memburu. Menuju pada ruang UGD yang memang telah diinformasikan melalui telepon dari orang yang tak dikenal.

Laki-laki dengan balutan kemeja hitam itu, kini tergesa-gesa, sesekali menerobos pada beberapa orang yang ada dan berlalu lalang di selasar rumah sakit. Ia tak peduli sekeliling, sorot yang menajam menatap pada setiap gerak dan langkahnya yang begitu mengganggu. Satu yang menjadi tujuannya, adalah ingin cepat-cepat melihat keadaan wanita yang ia sayangi meski lubuk hati kecilnya masih menyimpan kesal yang tak mampu dihilangkan sejak dulu.

Arul membuka pintu UGD dengan cepat, mengedarkan pandangan sampai menemukan objek yang ia cari. Wanita dengan usia kepala tiga yang tampak lemah terbaring di atas brankar. Arul dengan cepat menghampiri wanita itu, wanita yang kerap ia sebut sebagai mama.

"Mama enggak apa-apa?" tanya Arul, menggenggam tangan mamanya sambil mengusap lembut puncak kepalanya.

Mama Arul tampak mengukir senyum, menyiratkan ketenangan, memberi jawaban lewat sorotnya yang meneduh, bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari kondisinya saat ini.

"Enggak apa-apa, Mama senang kamu dateng, Mama senang kamu masih peduli sama Mama," ungkap wanita itu.

"Kenapa bisa kayak gini?" Arul menggeleng, rasanya sangat tak tega melihat sang mama yang harus terbaring dengan beberapa luka pada kaki dan tangannya, juga simbahan darah yang sudah bersih dan diperban di bagian kepalanya.

"Biasa, Mama lagi ngantuk, jadi enggak fokus bawa mobilnya," jawab mama mencoba tetap santai.

Arul menggenggam tangan mamanya semakin erat. Menatap dengan penuh cemas.

"Mama harusnya jangan maksain bawa mobil kalau lagi ngantuk, kenapa Mama enggak telepon Arul? Kenapa Mama enggak minta anter ke Arul?" ucap Arul.

"Memangnya sejak kapan kamu mau direpotkan sama Mama?"

Arul dibuat diam seribu bahasa. Ia baru ingat, hubungannya dengan sang mama memang tidak pernah baik. Usai kedua orang tua mereka bercerai, cowok itu bahkan sama sekali tak memberi akses komunikasi dengan kedua orang tuanya. Pun saat mereka menjenguknya di rumah, justru ia malah merasa tidak nyaman dan sangat ingin mengusirnya. Entah, luka perceraian kedua orang tua saat usianya masih kecil, cukup membuat Arul trauma. Trauma dalam bertemu dan berkomunikasi banyak dengan mereka.

"Maafin Arul, Ma," ungkap Arul dengan pelan.

Mama Arul mengangguk, untuk kemudian atensi mereka tertuju pada seorang pria paruh baya yang baru saja datang. Seketika netra Arul yang sendu berubah visus. Cowok itu melepas genggaman tangannya dari sang mama sambil menghampiri pria itu—papanya.

Hai, Selesai.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang