Hai, Selesai. [53]

388 28 6
                                    

FOLLOW DAN VOTE SEBELUM MEMBACA!

HAPPY READING!

"Udah anjing! Udah berapa rokok yang lo bakar dari tadi? Mau mati lo?" tegur Raka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Udah anjing! Udah berapa rokok yang lo bakar dari tadi? Mau mati lo?" tegur Raka.

Saat ini Raka berada di rumah Arul, bersama Rivai, karena mereka memang ditelepon Arul untuk ke sana. Arul ingin menceritakan hari ini yang berhasil membuatnya sangat kacau. Pikirannya yang sudah kalut, membuat cowok itu mengalihkan rasa sakitnya pada beberapa batang rokok yang dibakar bergantian dan dihisap bersamaan, hingga habis.

Sungguh gila, bukan? Padahal jika dipikir ulang, mengingat pada masa lalu, seharusnya Arul tidak seprustrasi ini akan kepergian Disyaa. Bukankah ia juga harusnya senang, karena Disyaa mendapatkan orang yang tulus mencintainya, yang sangat jauh dengan dirinya pada Disyaa saat itu. Juga, dengan begini, Disyaa tidak akan pernah menggangunya lagi, kan? Tapi entah kenapa tidak ada Disyaa sangat hampa. Gadis yang katanya jelek dan selalu ia sakiti itu, justru kini menjadi seseorang yang sangat ia rindukan kehadirannya.

Mari bertepuk tangan sejenak, pada hukum semesta yang cukup adil.

"Apa sih, Ka?!" sentak Arul. Korek api yang Raka ambil, dengan cepat ia rampas kembali untuk membakar rokok berikutnya yang sudah tak terhitung jumlahnya.

"Lo mau mati?" Raka memelototi Arul, tapi, Arul tampak tak peduli.

"Lo kalau galau jadi bego, Rul!" cibir Rivai.

Mereka kini berada di dalam kamar Arul, menemani cowok itu sibuk dengan kegilaan patah hatinya.

Arul sama sekali tak peduli, dibakarnya lagi rokok baru yang bekasnya sudah berhamburan di lantai kamar. Cowok itu kembali menghisap dengan netra terpejam, kemudian mengeluarkan asap dari mulut dan hidungnya seolah mendapati ketenangan dari kegiatan itu.

"Disyaa jahat sama gue, Ka," cetus Arul pada Raka.

Raka dan Rivai saling tatap, tak sangka bahwa Arul bisa jadi seperti ini karena Disyaa.

"Matiin rokok lo, baru cerita," titah Raka dengan tegas.

"Enggak mau, kalau rokoknya mati, gue juga ikut mati," jawab Arul melantur.

"Lo bisa selesain semuanya dengan kepala dingin, Rul. Gak perlu ngerusak diri lo kayak gini!" sentak Rivai.

Arul tertawa, tawa yang tampak kosong, tawa yang memang tidak berarti tawa sungguhan karena bahagia.

"Biarin, gue enggak pantes baik-baik aja di saat Disyaa justru banyak sakitnya karena gue, Vai. Gue juga harus rusak, gue juga harus sakit, gue juga harus–"

Hai, Selesai.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang