49.|

11 1 0
                                    

Baskara di langit menyapa pagi yang cerah, ditemani semilir angin sepoi-sepoi menggelitik tanaman yang bergoyang.

Di teras depan, Narra terlebih dahulu mencepol rambutnya sebelum memegang gagang pel dan membersihkan lantai. Gadis itu menghabiskan waktu liburnya dengan berbenah dan merapihkan rumah.

"Narra~" Alzen datang menyapa sembari membawa dua bungkus nasi goreng.

Pemuda itu memperhatikan Narra sejenak kemudian memiringkan kepala dan menyunggingkan senyum manis. Kakinya selangkah maju, namun sedikit kecewa karena perhatian Narra tidak kunjung beralih padanya.

"Narra ..." Alzen bergumam seraya berjalan lebih dekat.

Tapi sesaat kemudian, dirinya sontak terperanjat ketika Narra tiba-tiba memukul kaki Alzen menggunakan gagang pel. Hal tersebut dikarenakan sepatu Alzen tidak sengaja menginjak lantai yang masih basah, meninggalkan noda pada keramik yang tentunya menguras kesabaran Narra.

"Udah tahu lantainya baru ku pel, kenapa malah diinjak?" protes Narra diakhiri jeritan saking kesalnya.

Alzen mengerejap tak percaya, sedetik kemudian menelan ludah. "Y-ya sorry ... gue gak engeh," ekspresi wajahnya menunjukkan rasa tertekan.

Narra berdecak kesal dan terpaksa mengepel bagian itu lagi dengan sekuat tenaga. Mulutnya tidak henti menggerutu sehingga membuat Alzen terdiam membeku.

"Narra ... sayang," Alzen memelas, tidak mendapatkan respon apapun dari sang kekasih.

Sampai netra sang pemuda bergerak ke arah sosok yang hendak keluar namun terdiam di ambang pintu, membuat Alzen mengembangkan senyum dan mata berbinar yang kemudian langsung merunduk bak pangeran.

"Selamat pagi camer~" sapa Alzen mendongak dan tersenyum ramah pada nenek Narra.

Narra yang heran hanya bisa menyimak dan merotasikan mata atas gelagat konyol Alzen.

Nenek tertawa karena cukup terhibur. Dia melambaikan tangan, meminta Alzen untuk masuk ke rumah dan berbincang-bincang. Tentunya hal tersebut membuat Narra terkejut, melihat Alzen melepas sepatu seraya mengedipkan sebelah mata genit padanya sebelum masuk ke rumah.

Narra buru-buru menyelesaikan tugasnya dan menyandarkan gagang pel pada sudut tembok, dia masuk ke rumah dalam keadaan sedikit panik karena takut hal aneh terjadi.

Tapi yang Narra lihat cukup membuatnya bingung. Memperhatikan Alzen yang duduk sambil mengeluarkan dua bungkus nasi goreng dan meletakkannya di atas meja. Wajah pemuda itu begitu ramah dan lembut saat mengobrol dengan nenek.

"Nama kamu siapa?" Nenek bertanya.

Dibalas senyuman hangat pemuda di hadapannya. "Alzen nek, calon mantu," celetuknya, secara tidak langsung menjadi penilaian awal dari nenek.

Kasihan ... kirain masih waras.

Batin nenek tersenyum simpul meski dalam hatinya merasa simpati. "Dari kapan jadi temannya Narra?"

"Pacarnya, nek. Tapi entar mau nikah," Alzen memasang wajah tanpa dosa.

Menjengkelkan bagi Narra yang bergerak dan duduk di samping nenek. Raut wajahnya tidak menampakkan ekspresi apapun, hanya menyilangkan kedua tangan di dada seraya menatap Alzen.

"Jangan ngelantur," Narra beralih melihat bungkus nasi goreng yang menggiurkan.

Alzen sadar atas tatapan itu, ia membuka salah satu bungkus dan menyodorkannya pada sang kekasih. "Gue buat ini sendiri loh ... tapi bahan-bahannya tetep dari pedagang nasi gorengnya, spesial buat pacarku yang cantik dan baik hati. Ekstra telur, ekstra sosis, ekstra daging dan ekstra cinta dari hati yang lebih dalam dari Palung Mariana."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Nuragaku ( On Going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang