Bagaimana jika kita dipertemukan hanya untuk menambah luka baru?
Alzen yang sempat mengalami perundungan kini beralih menjadi pelaku akibat emosional yang sudah sulit untuk dikendalikan. Tetapi, sekolah seakan mewajari sikap dan perilaku buruk anak...
Masalah itu efemeral, akan ada banyak enigma yang harus kita lewati untuk mengakhirinya. . .
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Malam ini Alzen dan Arkan baru kembali setelah menonton balap liar. Mereka pulang berjalan kaki karena motor yang Arkan miliki harus diperbaiki sebab ada beberapa kerusakan, sementara Alzen sengaja tidak membawa motor dan memilih untuk menumpang di motor kawannya.
"Seharusnya tadi Lo bawa motor aja kalau mau ngikut, biar pas pulang gak usah capek-capek jalan," cerocos Arkan.
Ucapannya diabaikan oleh Alzen yang berjalan sambil terfokus pada layar ponsel. Alzen tengah sibuk melihat foto-foto Narra yang tanpa terasa mengukir senyuman indah dan rasa gemas dihati, ia juga mengawasi lokasi dan keberadaan Narra lewat aplikasi, memastikan jika gadis itu berada ditempat yang aman tanpa adanya pria pengganggu.
Arkan yang mengetahui itu hanya memutar mata jengah sambil memalingkan pandangannya kearah lain. "Lo kalau udah bucin ampe lupa dunia," cibirnya memperhatikan suasana yang sudah sunyi.
Arkan melihat jam yang melingkar dipergelangan tangannya, menunjukkan pukul 22.57 pm. Sudah larut malam, suasana jalan juga hampir sepi dan hanya memperlihatkan satu atau dua mobil yang melintas.
"Sepi bener, gue baru sadar kalau jam segini jalanan udah sepi," ucap Arkan masih tidak dipedulikan oleh Alzen yang terkekeh melihat wajah Narra yang diam-diam ia potret tanpa ijin.
"Dasar sinting, otak Lo jadi gak waras gara-gara tuh cewek," Arkan tidak habis pikir dengan satu kawannya ini. Mereka jadi harus berjalan jauh untuk pulang, tidak dapat memesan kendaraan online karena sudah terlalu larut.
Suara nafas dan hunus benda tajam tiba-tiba terdengar ditelinga Arkan, ia buru-buru menepuk pundak Alzen untuk memberitahukan suara misterius itu. Alzen yang merasa terganggu terpaksa menurunkan ponselnya untuk meladeni kawannya yang kebingungan.
"Denger apa?" Alzen heran. Tapi detik kemudian langsung terdiam saat suara nafas terengah-engah kembali terdengar. "Lo capek?"
"Itu bukan nafas gue," bisik Arkan memutar kepala mencari asal suara. "Suara siapa, ya? Masa iya setan?"
Mereka berdua terdiam sejenak, membuka telinga untuk mendengar serta menyiapkan otak untuk memastikan suara yang begitu misterius.
Tawa kecil pria terdengar. "Gue ... Udah gak butuh Lo lagi, dasar brengsek. Gue bisa hidup bahagia dengan cara gue sendiri, karena selama ini ... Yang jadi benalu itu Lo!"
'Suaranya kok kayak kenal?' Arkan membatin.
"Ini ..." Alzen mengernyit, pikirannya teringat pada seseorang lewat suara yang ia dengar.
Mereka berdua mengintip pada sebuah gang sempit nan gelap, lampu jalan disana pun telah redup dan hampir tidak dapat bertahan. Tapi suara hunus benda tajam berkali-kali terdengar dari dalam kegelapan nan kesunyian itu. Bau amis mulai tercium pekat di hidung, hawa dingin menambah suasana misterius dibalik gang yang diketahui buntu tanpa ada jalan penghubung lain.