°Prolog°

355 69 84
                                    

Halo semuanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Halo semuanya ...
Makasih udah mau baca ceritaku yang ini, jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan komen ya~

Dimohon bijak dalam memilih bacaan dan selamat membaca ....
(⁠◠⁠‿⁠◕⁠)























(☬☬)

Suasana ramai ditengah kedukaan seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun yang menangis di samping makam sang ibunda. Isak tangisnya dipenuhi rasa takut akan kehilangan sosok yang begitu ia cintai. Anak itu bersimpuh, mencengkram tanah makam yang masih basah serta kepala yang menunduk dalam dan hampir mengenai tanah. Orang-orang yang mengenakan pakaian serba hitam berangsur-angsur pergi. Menyisakan anak kecil yang masih tenggelam dalam sungkawa, serta seorang pria yang berdiri seraya memandang iba anaknya dari samping.

"Kita pulang sekarang, ya, Alzen." Ayah menyentuh pundak anaknya, dirinya juga mengalami kesedihan yang sama, namun berusaha menahan air mata agar tidak membebani mendiang istrinya yang mungkin sedang memperhatikan mereka dari alam lain.

Tapi perhatian sang ayah perlahan menghilang, setelah sembilan tahun berlalu. Ketika Alzen menginjak usia remaja kelas sepuluh.

"Maksud Ayah apa? Ayah udah gak cinta lagi sama Ibu?" protes Alzen yang tengah bertengkar hebat dengan ayahnya, dalam kamar yang penuh poster dan cukup berantakan.

"Umur Ayah masih belum terlalu tua, Ayah butuh pendamping biar bisa ngurus kamu!" Ayah berusaha membujuk anaknya agar memberikannya restu.

Alzen tertawa getir. "Alasannya konyol, bukan itu yang mau Ayah katakan, kan? Ayah menikah karena perasaan Ayah ke Ibu udah gak ada! Ayah mencintai wanita lain selain Ibu, wanita yang bahkan aku aja gak tahu dia siapa!" Alzen menjerit saking kecewanya, dadanya sesak dan matanya memanas.

Hening sesaat, setelah suara nyaring terdengar karena tangan Ayah yang reflek menampar pipi anaknya akibat kesal pada nada Alzen yang begitu tidak sopan. "Jangan kurang ajar kamu!"

Alzen ingin berbicara, tapi setiap ia membuka mulut, ayahnya selalu menamparnya seolah tidak mengijinkan anaknya untuk mengutarakan pendapat. Alzen membungkam dirinya sendiri dengan tidak mengatakan apapun. Hanya menunduk dalam, menahan banyak emosi yang begitu membebani hatinya.

Sampai beberapa detik kemudian. Sang ayah baru menyadari kesalahannya, khawatir karena telah menampar Alzen saat kehilangan kendali. Ayah hendak memeluk anaknya untuk menebus rasa sakit yang telah diberikan. Namun, dirinya langsung didorong kuat oleh Alzen hingga sedikit terpental.

Nuragaku ( On Going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang