"Kau bercanda bukan Morwen?"
Ignatius memecah keheningan yang canggung sampai membuat tengkuk meremang.
"Itu tidak masalah. Tidak ada yang dapat bertahan lebih dari dua puluh menit ketika Morwen menggunakan stigma sihirnya bahkan jika lawannya para pemimpin bangsa yang lain. Bukankah resiko yang ditimbulkan dari kekuatan sebesar itu pasti besar pula?" Komentar Helmer masuk akal.
"Sinting juga." Kini Alister yang berkomentar meskipun tidak ada siapapun yang mendengarnya.
"Tentang perjanjian dengan bangsa lain yang kau singgung sebelumnya, apa maksudnya?" Tanya pria berwajah suram bermata sekelam malam, Elijah.
"Sudah saatnya peperangan antar bangsa yang terjadi di tanah tidak berpemilikan ini dihentikan. Jika terus berlanjut, akan semakin banyak korban jiwa baik dari bangsa penyihir maupun bangsa lain." Jawab Morwen.
"Memang apa pedulimu jika korban dari bangsa lain berjatuhan?" Tanya Elijah dan lagi-lagi Alister menyahut dengan perkataan serupa.
Alister jadi mengernyit sebelum menghela napas kasar, meniti penampilan Elijah dari samping. Pria yang disebut Yang Mulia oleh Declan dan sektenya ini ... entah kenapa Alister merasakan persamaan dengannya.
"Lagipula pulau ini bukan tanah tidak berkepemilikan, setiap bangsanya punya tanah-tanah yang divalidasi milik bangsa mereka." Tutur Elijah.
"Benar, padahal kita sudah menginjakan kaki di atas tanah yang sudah diklaim, kita hidup, membangun rumah, bernaung, bersosialisasi di atas tanah tersebut dengan kedamaian namun kenapa peperangan masih terjadi?" Tanya Morwen dengan nada bicara yang tidak berubah, lembut.
"Padahal jika memikirkan orang-orang yang tidak menginginkan peperangan terjadi, bisa saja kita hidup masing-masing dengan saling bertetangga sesama wilayah. Atau mungkin kita bisa bersama, bersatu untuk memimpin sebuah negara dimana tidak ada pertumpahan darah yang terjadi. Memimpin berbagai jenis bangsa menuju jalan kedamaian." Tutur Morwen menarik sudut bibirnya membuat mereka tertegun kecuali Elijah yang mengernyit tidak suka.
Bulu kuduk Alister sampai berdiri mendengar harapan yang sangat indah dan juga penuh kedamaian itu.
Alister alergi.
"Jadi? Untuk mencapainya, apa yang akan kau lakukan, Morwen? Bisakah kami membantumu? Aku akan melakukan apapun untuk negeri ini mencapai kedamaian yang kau iinginkan." Tutur Doris membuat Morwen tersenyum.
"Aku ingin kalian membantuku untuk menahan bangsa penyihir ikut berperang yang akan berlangsung beberapa saat lagi. Kita harus mundur dari perang sementara aku sendiri yang akan menghadapi para pemimpin bangsa dan berdiskusi dengan mereka."
"Apa berdiskusi cukup?" Tanya Helmer.
"Kekuatanmu seorang memang jauh lebih hebat dari mereka, namun para pemimpin bangsa lain lebih keras kepala dari yang terlihat, Morwen. Apalagi mereka sudah uzur meskipun wajahnya masih kelihatan muda." Sahut Ignatius membuat Morwen tersenyum simpul.
"Tidak apa. Aku bisa mengatasinya."
"Baiklah! Namun jika keadaan sudah sangat mendesak dan ucapanmu sudah tidak terdengar, pakai saja kekuatanmu untuk membuat perjanjian, Morwen." Saran Doris membuat alis Morwen mengerut.
Meskipun rasa simpati, murah hati, kebijakan dan kedewasaannya lebih tinggi dari yang lain, justru itulah yang membuat dirinya naif.
Morwen masih percaya bahwa dia bisa meyakinkan orang tua bergelar pemimpin bangsa lain dengan ucapan tanpa harus unjuk kekuatan.
Semuanya bisa di capai dengan demokrasi, itu anggapan Morwen sampai melupakan bahwa benar dan salah, setuju dan menolak, pro dan kontra bagi seseorang yang mempunyai kekuatan di luar nalar seperti energi sihir itu menjadi tidak berarti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alister Franklin : Maldición
FantasíaFantasi tinggi, dibumbui aksi dan misteri. Alister Franklin, penyihir hitam yang terkenal si pemilik wajah badut. Auranya suram, misterius dan susah didekati. Lebih suka meracuni babi di peternakan atau memasukan Troll ke dalam asrama ketiban bertem...