33°

1.6K 42 0
                                    

Sesampainya di rumah, Gaby lebih dulu naik ke lantai dua dan membuka pintu kamar.

Ia harus mengecek apakah kamarnya baik-baik saja atau ada debu tebal yang bersarang di beberapa barangnya.

"Tok tok tokk! Andrea Gaby??"

Gaby membalikkan tubuh cepat. Mendapati pria berjas hitam bersandar di daun pintu seraya bersedekap dada dengan wajah konyol.

"Laga igi aga paga?" Bahasa G selalu Papa berikan untuk mencairkan suasana jika bicara dengan anak semata wayangnya itu.

"Papa kapan dateng?" tanya Gaby, berjalan dan menyalimi tangan pria itu.

Papa membenarkan kacamata kotak yang bertengger di hidung mancung. Ia mengusap singkat pucuk kepala Gaby sebagai tanda kasih sayang dan rindu beratnya.

"Kemarin tuh Papa ditelpon sama Gema. Katanya kamu gak mau nyusul Papa ke Bali, jadi yasudah ... Papa pulang, deh. Tapi Papa baru inget ... kalau Papa mau ketemu sama anak Papa."

Gaby tersenyum simpul mendengar itu. Ia berjalan bersama Papa menuju lantai satu dan menghampiri Gema ke meja pantry.

"Kata Gema, kamu gak mau punya anak. Ege magang bege neger?"

Gema mengernyit tak paham atas ucapan mertuanya itu. Ia melempar tatapan bingung ke arah Gaby yang berdiri di sampingnya.

"Enggak, Pa. Kata siapa coba? Gema kan tukang boong," tuduh Gaby, membuat kedua alis Gema hampir menyatu.

Papa mendengus seraya menepuk keras bahu Gema. "Wahai mantuku yang paling tamvan dan kaya raya karena sudah mendapatkan saham dari saya. Tolong buat anak saya hamil dan memiliki bayi kembar."

Gema merenggangkan otot wajahnya yang sempat kaku. Ia mengangguk kikuk saat mendengar ucapan mertuanya tadi.

"Jadi gimana, Bro?"

"Apanya, Pa?" tanya Gema tak paham.

"Progressnya lah. Katanya mau punya anak. Kalian udah belajar parenting, kan?" Papa berjalan menuju kulkas, mengambil minuman dingin, lalu terduduk di kursi berhadapan dengan Gema dan Gaby.

"B-belum, Pa." Kali ini Gema gugup bukan main. Pasalnya ia amat takut jika pria itu marah besar padanya.

"Lhoo ... gimana ini ceritanya? Kalau begini ... walah walahh! Saya lama mendapatkan cucu." Papa lalu meneguk minuman kaleng itu hingga tersisa setengah.

Gaby memutuskan untuk duduk di kursi, tepat di samping Gema.

"Papa dulu gak pernah maksa Gaby apapun. Tapi kenapa sekarang begini?"

"Paga paga gaga peger nagah magak saga kaga mugu, Gaby."

Gaby mendengus pasrah. Ia semakin yakin jika Papanya bukan blasteran antara Turki dan Jakarta. Melainkan Turki dan Pluto.

"Papa tuh mau kamu jadi yang terbaik. Cuman ya ... Papa sadar kalau udah telat." Papa menunduk, menghela napas panjang.

Mengingat istrinya sudah tiada, ia kembali merasa bersalah akibat terlalu sibuk dengan pekerjaan.

"Dari dulu Papa ke mana aja?" balas Gaby, menatap ke arah lain dengan begitu lekat. "Gaby gak pernah ngerasa Papa punya waktu buat keluarga."

"Saga ya gang ... bukan gitu, Gaby ku yang cantik dan manis. Papa itu dulu terlalu sibuk buat mengembangkan bisnis. Karena Papa gak mau anak Papa ngerasain paitnya kekurangan uang."

Gaby beralih menatap Papa dengan manik yang mulai berkaca-kaca. Gadis itu seperti menahan sesak di dada jika berbicara dengan pria di hadapannya.

Peka dengan hal yang Gaby rasakan, satu tangan Gema di bawah meja meraih jemari mungil itu dan digenggamnya erat.

ALGEMANTRA [END:REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang