41°

1.7K 43 0
                                    

Suara kicauan burung yang hinggap di ujung jendela kamar, berhasil mengusik tidurnya yang lelap.

Matanya terbuka perlahan. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah wajah damai dari seorang Algemantra Wiratama.

Satu tangannya terulur mengusap lembut tengkuk lelaki itu. Berharap sang empu tidak terganggu.

Masih demam. Batinnya berucap, seraya menjauhkan tangan dari tengkuk Gema.

Akhirnya ia memutuskan untuk beranjak dari kasur dan membersihkan diri terlebih dahulu di kamar mandi.

Setelah selesai, Gaby melangkahkan kaki menuju lantai bawah. Ia akan bertanya pada Bi Hera soal Gema.

"Mbak Gaby?? Mau sarapan, ya?"

Gaby tersenyum sambil menggelengkan kepalanya singkat. "Enggak, Bi. Aku mau nanya sesuatu boleh?" Ia terduduk di sofa dan menyuruh Bi Hera untuk duduk di sampingnya.

"Kenapa toh, Mbak? Kok saya deg-degan, ya. Hehe ..."

"Enggak, Bi. Santai aja. Aku cuman mau nanya-nanya tentang Gema."

Bi Hera mengangguk seraya menatap intens wajah Gaby. Ternyata Bi Hera baru menyadari, bahwa Gaby lumayan mirip dengan Bundanya Gema.

Dari tatapan hingga lekuk wajah Gaby terlihat hampir mirip dengan Bundanya Gema.

"Mau nanya soal penyakitnya Mas Gema ya, Mbak?"

Gaby membeku sejenak saat Bi Hera dapat menebak niatnya. Wanita berdaster itu tersenyum hangat seraya mengulurkan tangan di atas lengan Gaby, lalu mengusapnya dengan penuh kelembutan.

"Mas Gema udah cerita ke Bibi ... kalau ngasih tau soal ini ke Mbak Gaby nanti aja. Nunggu waktu yang pas katanya," jelas Bi Hera dengan begitu tenang, tanpa menghentikan usapannya pada lengan Gaby.

"Bibi sedih banget pas tau Mas Gema kena leukimia." Bi Hera tertunduk sejenak, menahan air matanya agar tidak keluar.

Gaby terus diam menatap wanita itu dengan saksama. Ia juga sama rasanya. Begitu sedih mendengar Gema di diagnosa leukimia sejak dua tahun lalu.

"Karena Bibi bener-bener udah anggep Mas Gema itu kayak anak Bibi sendiri, Mbak. Dan ..." Bibi menaikkan wajah dengan air mata yang menggenang di pelupuk mata.

"Dan Mas Gema itu juga kayak obat buat hati Bibi yang ditinggal anak Bibi pas kecil."

Kedua mata Gaby mengerjap saat melihat setetes air mata Bi Hera membasahi pipi.

"Bi ... maafin aku, ya. Aku gak bermaksud buat–"

Bi Hera terkekeh seraya menepis air mata. "Ya Ampun, Mbak ... harusnya Bibi yang minta maaf. Malah jadi Bibi yang sedih, nih."

Wanita itu terus menerus mengusap matanya yang terlihat merah dan cukup sembab. Bi Hera ingin sekali terlihat kuat di mata Gaby.

"Tapi Bibi ngerasa sekarang Mas Gema udah jauh lebih baik dari sebelumnya yang sering banget mimisan. Ditambah lagi Mas Gema kan sibuk banget di kampus."

Nah, kan. Gaby sebenarnya ingin sekali memforsir jadwal lelaki itu, namun sudah terlanjur mengemban tugas yang tidak mudah, alhasil kini ia hanya bisa berusaha menjaga Gema dari segi makanan dan mengingatkan istirahat yang cukup.

Gaby melipat bibir merasa begitu ngilu membayangkan betapa padatnya jadwal lelaki itu akhir-akhir ini.

Ditambah lagi sedang UTS yang entah kapan selesainya, Gaby belum bertanya lebih dalam soal itu.

"Gema lagi demam, Bi. Aku bingung mau ngasih obat apa."

Gaby kini lebih berhati-hati memberi obat atau makanan pada lelaki itu setelah mengetahui perihal penyakit yang baru saja ia ketahui.

ALGEMANTRA [END:REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang