Makan Malam Bersama

806 101 7
                                    

Dengan langkah lunglai, Freya turun dari kamarnya. Matanya tak sengaja menatap kedua orang tuanya yang sedang mengobrol bersama Flora-adik angkatnya di ruang tengah. Mereka bertiga terlihat begitu bahagia. Freya sadar diri, otaknya itu tidak pandai, bahkan jauh dari kata itu. Keluarganya pun memandang seseorang dari tingkat kepandaiannya. Jadi, kalau tidak termasuk dalam golongan itu, jangan pernah berharap bisa dianggap oleh keluarga Levanya.

"Freya! Sini kamu!" titah Aran kepada Freya. Tidak ingin membantah, Freya pun berjalan ke arah mereka.

"Papa dapat kabar dari Bu Melody, kalau nilai kamu semakin menurun. Kamu ini selalu saja membuat keluargamu malu! Kalau Papa suruh belajar itu nurut! Malu-maluin aja tau!" murka Aran. Kedua matanya menatap nyalang ke arah freya.

"Bisa nggak, sih, kalian jangan mandang kualitas diri seseorang lewat tingkat kepandaiannya? Bisa nggak, kalian mandang seseorang dari hatinya? Tiap orang itu punya kemampuan masing-masing, Pa. Freya akui kalau Freya emang nggak pandai kalau urusan pelajaran. Tapi bisa nggak kalian menghargai Freya sebagai anak kalian?" balas Freya mengeluarkan isi hatinya. Gadis itu menarik napas dalam-dalam, berharap dapat menghilangkan rasa sesak di dadanya.

"Dari kecil, Freya nggak pernah diajarin sama kalian. Freya nggak pernah dapetin semua yang kalian kasih ke Flora. Sebenarnya, Freya ini anak kandung Mama sama Papa atau bukan?"

"Cukup, Ilona!" sentak Aran sembari menahan tangannya yang hendak menampar Freya.

Freya tertawa hambar. "Kenapa nggak ditampar aja?"

"Lama kelamaan kamu semakin ngelunjak, ya, Freya. Mama nggak pernah ngajarin kamu ngomong kayak gitu sama kami," ujar Chika ikut menimpali.

"Ngajarin, ya? Sejak kapan kalian ngajarin Freya? Bukannya nggak pernah, ya?" sarkas Freya.

Plak!

Sebuah tamparan keras mendarat mulus di pipi Freya. Rasa panas juga nyeri menjalar di permukaan kulit gadis itu. Bukan. Bukan Aran yang menamparnya, melainkan Chika.

"Yang Freya butuhkan itu kasih sayang, bukan tamparan." Setelah menyatakan itu, Freya langsung berlari keluar menuju rumah Zean.

***

"Kamu kenapa, Sayang?" tanya Gracia seraya mengelus puncak kepala Freya. Wanita berusia empat puluh tahun itu menatap lembut Freya yang sejak tadi menundukkan kepala. Jika Freya sudah murung seperti itu, pasti ada yang tidak beres dengan gadis itu.

Freya menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, Tante."

Gracia tersenyum lembut. la ikut duduk di sebelah Freya. Mereka kini tengah berada di ruang makan bersama Zean, Sean, dan juga Adelio. Zean mengerutkan keningnya saat melihat pipi Freya yang memerah.

Karena peka, cowok itu pun berdiri dari duduknya. Ini bukan kali pertamanya ia mendapati pipi Freya yang memerah seperti habis ditampar. Maka dari itu,

Zean langsung pergi ke dapur untuk mengambil sebaskom air dingin dan juga handuk untuk mengompres pipi gadis itu.

Gracia menatap lembut ke arah Freya yang berwajah cemberut dan menundukkan kepala. "Kamu ada masalah?"

Freya menggeleng pelan..

"Ada apa, Sayang? Mau tante bantu ngomong sama orang tua kamu?" tanya Gracia yang memang sudah hafal dengan gelagat Freya setiap bermasalah dengan kedua orang tuanya. Freya refleks mendongak. "Nggak usah, Tante."

Gracia memegang kedua pundak Freya. Tatapan teduh penuh kelembutan milik wanita itu selalu bisa membuat Freya merasa tenang. "Inget, kamu nggak sendirian. Bagi kami, kamu itu udah kayak bagian dari keluarga. Jangan pernah ngerasa sendiri, ya, Fre," ujarnya dengan tulus.

Freya menatap Gracia haru. "Freya boleh peluk Tante?"

Dengan senang hati, Gracia mengangguk. la merentangkan tanga membuat Freya langsung memeluk erat dirinya.

"Makasih, Tante. Makasih udah buat Freya jadi ngerasain kasih sayang mama...."

Gracia mengangguk seraya terus mengelus punggung Freya. "Sama- sama, Sayang."

Tidak berselang lama, akhirnya Zean datang menghampiri Freya dengan sebaskom air dan handuk tipis yang berada di tangannya. Tanpa banyak bicara, cowok itu dengan segera mengompres pipi Freya yang memerah. Sean dan Gracia yang melihat tingkah anaknya yang begitu perhatian kepada Freya pun mengukir senyum haru.


To Be Continue

Jangan lupa vote dan komen ya guys

Seamin Tak SeimanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang