Bertengkar

652 95 10
                                        

Terik matahari yang menyengat membuat siswa-siswi SMA Senandika tidak berhenti mengeluh. Upacara hari Senin sebentar lagi akan selesai,membuat mereka sudah tidak sabar untuk segera masuk ke dalam kelas.

"Untuk yang tidak memakai atribut lengkap, dimohon untuk tetap berada di lapangan."

Suara milik Zean menginterupsi siswa-siswi. Mereka yang memakai atribut lengkap langsung kembali ke kelas setelah mendengar perintah Zean. Namun, ada sekitar dua puluh murid yang masih bertahan pada posisi mereka. Termasuk Freya, Ollan, dan Aldo yang tidak membawa topi upacara.

"BARIS DI TENGAH DENGAN RAPI! SAYA HITUNG SAMPAI TIGA! SATU...."

Dua puluh murid itu langsung memosisikan diri di tengah lapangan dengan berbaris rapi.

"DUA... TIGA!"

Zean dan Marsha berdiri di depan barisan. Langkah kaki Zean mulai berjalan mendekat ke arah dua puluh murid itu. Diikuti oleh Marsha yang terlihat lemas di belakangnya..

"Catat nama mereka sekalian sama alasannya," titah Zean yang langsung diangguki oleh Marsha. Pasangan ketua dan wakil OSIS itu mulai menghampiri satu persatu murid yang melanggar aturan.

"Niko, X IPS 1. Kenapa tidak membawa dasi?" tanya Marsha kepada salah satu murid cowok.

"Dasi saya diambil tikus, Kak," balas Niko dengan jujur. Zean memutar bola matanya malas. "Kenapa nggak beli?"

"Uang saya nggak cukup, Kak. Dasi di sini mahal," balas Niko lagi. Zean yang mendengar itu hanya bisa menggelengkan kepalanya. Cowok itu merogoh saku seragamnya, lalu mengambil selembar uang lima puluh ribuan di sana. "Buat lo. Habis gue hukum nanti langsung beli dasi," ujarnya. Niko menerima uang dari Areksa dengan senang hati. Kapan lagi ia men dapat rezeki nomplok seperti ini? "Terima kasih, Kak," katanya seraya menundukkan kepalanya sedikit.

Zean mengangguk sekilas. Marsha yang sudah selesai mencatat Niko itu langsung beralih ke arah Aldo. "Kenapa nggak pakai topi?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Lupa. Kebanyakan pikiran gue," balas Aldo dengan santainya. Marsha menggeleng-gelengkan kepalanya heran. Setelahnya, ia mencatat nama Aldo di daftar catatan hitam di tangannya. Beberapa kali gadis itu berdecak resah. Kepalanya terasa pusing karena terlalu lama berada di bawah sinar matahari.

"Kenapa nggak bawa topi?" Zean bertanya kepada Freya yang melamun sejak tadi. Gadis itu mengangkat kepalanya saat Zean sudah tiba di hadapannya.

"Males," balas Freya dengan wajah lempeng.

"Lain kali jangan sampai lupa." peringat Zean kemudian tersenyum tipis. la memang lupa untuk mengingatkan Freya pagi tadi.

Marsha yang mulai merasa ada yang aneh dalam pernapasannya itu mati-matian menahan diri untuk tidak tumbang. Gadis itu masih mencatat dengan tangan gemetar. Zean yang merasa aneh dengan Marsha itu pun langsung memegang kedua bahu gadis itu. Buku yang dipegang Marsha seketika terjatuh. Tangan gadis itu beralih memegang dada dengan napas yang tersendat.

"Sha? Lo nggak apa-apa?" tanya Zean dengan wajah panik. Bukan hanya dirinya, tetapi semua orang yang ada di sana pun sama.

Napas Marsha kian tersendat. Gadis itu kesusahan untuk berbicara. "O-obat," ujar Marsha sebisa mungkin.

Zean yang paham pun langsung mengambil inhaler yang ada di saku jas gadis itu. "Tarik napas yang dalam. Lo tenang, jangan panik."

Marsha melakukan apa yang Zean katakan. Dadanya terasa sesak dan semakin sakit ketika ia menghirup udara.

Dengan cepat Zean membuka penutup inhaler yang diambilnya tadi. Kemudian ia memasukkan ujung inhaler itu di antara mulut Marsha. Zean menekan ujungnya supaya obat yang ada di dalamnya keluar ke dalam mulut gadis itu.

Seamin Tak SeimanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang