Pertemuan

175 28 1
                                    

Negara yang sangat terkenal dengan Sepak Bola. Melahirkan atlet-atlet sepak bola profesional Dunia. Negara bahagia menurutku. Dan ini adalah pusat Army Stan Jhope garis keras.

Siang yang hangat ini aktifitas ku masih sama, aku menghabiskan waktu di salah satu area pemakaman elit yang berada di Culaba, Brazil. Selama 3 jam disini aku sudah menghabiskan beberapa kaleng kopi dan camilan.
Jika informan yang ku sewa berbohong, dia pasti akan mati.

Setelah beberapa saat lamanya.

Siluet tubuh yang ku kenal mendekati pintu masuk area pemakaman elit itu. Jauh lebih kurus dari 3 tahun lalu saat terakhir kali aku melihatnya. Sebuah  buket bunga anyelir putih dia pegang erat di tangan kanan dan sebotol air mineral di tangan kiri.

Kali ini warna rambutnya pirang keemasan. Tapi terlihat cocok dengan kulitnya yang memucat. Kurasa tubuhnya bisa beradaptasi dengan baik di negara ini. Dia sudah seperti warga lokal.
Satu kebiasaan yang belum hilang, kaca mata hitam mewah bertengger diatas hidung mancungnya.
Secara keseluruhan dia berubah lebih tampan, manis dan jelas lebih menarik.

Mataku menatap lurus ke depan, ke sebuah mobil Mercedes AMG GT S terbaru berwarna hitam metalik. Satu kata yang menggambarkan mobil itu adalah Kemewahan. Yang tak kalah menarik adalah mobil itu dikemudikan oleh seorang pria yang tampan, macho dan yang terpenting dia bule.

Aku mengambil foto plat nomor mobil tersebut. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk menemuinya. Aku masih harus bersabar.

Terlihat si bule membuka pintu kemudi dan berjalan cepat menuju area masuk pemakaman. Setangkai mawar putih ikut terombang-ambing di tangannya.
Hanya setangkai.

Bule berdiri di depan pusara yang tepat berada di sebelah kirinya.

Aku mulai bertanya-tanya hubungan diantara mereka.

Ku lajukan kendaraanku secara perlahan meninggalkan area parkiran dari pemakaman ini. Ada debar halus di dadaku saat melihatnya kembali. Yah.... debar rindu.

Ringtone"Savety Zone" by Jhope BTS mengalun merdu dari ponsel milikku. "Yoboseiyo."

"Apa yang sedang kau kerjakan?"

"Masih sama." Jawabku sambil mendesah pelan. Lelah? Tentu saja. Aku genap 4 bulan melakukan ini.

"Tak ada hasil?"

Ku putar setir dan menepi saat mendengar pertanyaan ini."Hari ini......."

"Ya?"

"Aku melihatnya." Jawabku sambil terisak. Air mataku tak bisa lagi ku bendung. Usahaku menahannya sedari tadi akhirnya gagal karena sebuah pertanyaan

"OMG...OMG.JJINJAYO.......?"

"Aku benar-benar melihatnya." Jawabku meyakinkan.

"Lalu apa yang kau lakukan?

"Aku...Akku..aku pergi."

"HAH?"

"Mian. Aku butuh waktu. Aku perlu menyiapkan mental ku untuk menatap wajahnya lagi." Jawabku di sela Isak.

"Jimin.....ah?"

"Mian..ku mohon mengertilah."

"Sayang....aku mengerti. Jangan menangis."

"Mian."

"Arrasso. Ini sudah sangat luar biasa. Aku bangga padamu."

".............."

"Hampir 4 bulan kau melakukan pencarian sendirian di negara asing. Pada akhirnya kau bisa melihatnya. Aku sangat bersyukur."

"Gomawo Yeobo."

"Ne. ACH....aku harus pergi. Jadwal ku hari ini adalah memamerkan jaket Denim koleksi terbaru."desah Namja tampan di Seoul sana nyaring terdengar.

"ABS mu akan terpampang nyata lagi?"

"Owh...ayolah sayang. Itu hanya untuk dilihat. Dan hanya 1 orang yang bisa menyentuhnya dan itu kau. Jadi ......."

"Arrasso ...arrasso. Jadi aku tak boleh marah apalagi cemburu konyol. Ini hanya sebuah pekerjaan."

"Anak pintar. Aku mencintaimu."

"I love you more."

Ku tutup panggilan itu dengan sebuah ciuman virtual. ACH....sudah hampir 2 Minggu disini, aku mulai merindukannya. Ada 1 kali lagi jadwal kunjungan ku ke makam sebelum kembali ke Seoul.

1 kali lagi kesempatanku mengakhiri semuanya. Apapun caranya aku harus mengabulkan permintaan Jin Hyung sebagai hadiah pernikahannya.

🏵️🏵️🏵️🏵️

"Hallo Hyung." Sapaku kepadanya. Namja yang berpakaian serba hitam itu perlahan membalikkan tubuh kurusnya. Bunga anyelir putih yang dia bawa masih tergenggam erat. Sejujurnya aku sedikit menyesal tak membiarkannya melakukan ritual terlebih dahulu. Tapi waktuku tinggal sedikit lagi.

Masih bisa ku lihat matanya membulat di balik kaca mata mewahnya. Bibirnya sedikit terbuka, mungkin karena terkejut.
"Senang melihatmu lagi setelah 3 tahun lamanya." Kataku.

"................"

"Apakah kau melupakanku?"

Gerakan lembut tangannya menarik kaca mata yang dia kenakan. Saat mata kami bertemu, aku melihatnya menggunakan kontak lensa yang sangat bagus warnanya. Cocok sekali.

"Aku tidak akan mungkin melupakanmu, Park Jimin." Jawabnya. Getar suaranya lembut menyapa telingaku.

Dia menoleh ke pusara, meletakkan buket bunga anyelir dengan anggun. Tak lupa menyirami pusara itu dengan sebotol air mineral yang dia bawa.
"Papi, adik ku datang mengunjungimu. Maukah kau ku perkenalkan padanya?"

Aku mendekat saat ku lihat gerakan tangannya yang memanggilku. Jika saja saat ini ada kamera yang menyorot, ku yakin ekspresiku sangat konyol dan terlihat bodoh.

"Papi? Hyung?" Tanyaku bingung.

"Yah, dia papi ku."

Nama Steven Aguero tertulis di batu nisan itu. Umurnya 63tahun saat dia meninggal.
Tak lupa ku lirik pusara disebelahnya, Femilia Phenuwlar. Nama yang tak asing.

"Itu milik kekasih Papi ku." Katanya tiba-tiba tanpa sedikit pun melirik ke arahku.

"Mwo?"

"Mereka dipertemukan di usia senja setelah puluhan tahun berpisah, tapi tetap saja semesta tak mengijinkan mereka berjodoh."

"............."

"Nyonya Femi kecelakaan 2 Minggu sebelum mereka menikah. Tak tertolong. Dan Papi ku 3 bulan kemudian menyusulnya."

"Kenapa kisah cinta mereka begitu tragis?" Tanyaku.

"Tapi ku pikir, yang paling tragis adalah kisahku."

Telingaku berdengung mendengar ucapannya. Suara ku tercekat, tak bisa menjawab. Kini tubuh itu sepenuhnya mengarah padaku. Tatapan intimidasi darinya masih mampu membuatku gugup dan canggung.

"Baiklah, sekarang katakan padaku. Apa yang membawamu kemari, Park Jimin."

F AK E    L OV ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang