"Gimana hari pertama kerja lagi, Bim?"
"Rasanya masih kayak awal-awal percobaan dulu nggak?"
"By the way, beberapa orang ngomongin kamu jadi anak emas Pak Hasan, some people said you're—"
"His mistress." Aku tertawa sambil mengedikkan bahu, sudah hafal di luar kepala dengan stigma orang-orang di luar sana, dan aku sama sekali tidak terpengaruh. Untuk sekarang, aku bersyukur sudah melewati fase gelap yang penuh rasa takut akan pendapat orang. Satu-satunya yang belum selesai dari ketakutan hanya tentang nasibku dan Datta ke depannya, tapi biarlah itu terjadi nanti. Apa pun dampaknya, aku sudah memutuskan akan siap menjalaninya. Semoga aku sungguh-sungguh. "Mending disebut anak emas atau sekalian jadi mistress-nya aja, Guys?"
Mereka semua tertawa. Mbak Dini bahkan tepuk tangan sambil memandangku dengan ekspresi bangga, kalau aku tidak keliru menilai. "Bimanya kita ternyata udah belajar banyak, and I'm so proud of you." Dia mengepalkan tangan, diangkatnya tinggi-tinggi. "Idup baik-buruk akan selalu ada yang menilai, ngomongin, gibahin, so let them be. Kita jalani aja apa yang di depan mata. Dosa enggaknya pak bos yang kita urus, kira serahkan pada Tuhan Yang Maha Esa, karena kalau diserahinnya ke hakim, prosesnya ruwet. Mereka cuma manusia biasa yang butuh banyak bukti ini-itu dan kadang juga sering nggak adil. Satu-satunya yang Maha Adil dan Kuat ya cuma Gusti Allah."
"Masya Allah, Mbak Dini." Mas Afwan tepuk tangan, memandang kagum. "Nggak sia-sia jadi panutan. Akhirat-dunia imbang." Semua tertawa. "Tapi gue setuju sih, selagi kerjaan lo aman, Bim, lo nggak leha-leha liburan ke Bali atau mana dan limpahin semua ke temen kerja lo, atau lo kerjaannya playing victim padahal lo sendiri yang problematic, nggak usah pedulii orang. Rehat lo kemarin ini, ada alasan di belakangnya, dan kita tau tau. Kita tau keputusan Bapak justru bagus, dan gue bangga kerja sama Beliau. Karena ternyata mengerti dan paham sama kondisi mental staf-nya."
"Couldn't agree more!" Mbak Nayla, salah satu tim Bapak yang saat ini ikut kami berjalan menuju pujasera. "Aku aja, yang bahkan direkrutnya tipisss banget waktunya sebelum penentuan TA harus minimal S2 ituuu, beeehhh awal masuk orang-orang sinis banget, Say. Pasti mikir kayak, ini orang bisanya apa? Pengalamannya apa? Gitu?"
"Tapi Mbak Nayla dulu langsung dipilih Bapak, kan?"
"Iyaa, anak magang dulu." Kami sudah sampai pujasera dan bersyukur karena berhasil menemukan kursi yang cukup untuk kami berempat. Mbak Nayla dan Mbak Dini duduk di depanku dibatasi meja, sementara Mas Afwan di sebelahku. "Tuh Afwan tuh yang beneran gokil." Mendengar itu, aku tertawa dalam hati. Kata 'gokil' rasanya sudah jarang sekali aku dengar di lingkunganku. Hanya bersama mereka ini, aku jadi merasa diajak kembali ke beberapa tahun ke belakang, dalam artinya yang baik. Bukan terbelakang yang aku maksud. "Doi daftar sendiri dan keterima, lho. Heran gue."
Aku bertepuk tangan. "Hebat, Maf Afwan. Selalu jadi satu di antara andalan Bapak."
"Kayaknya itu definisi rezeki deh." Mas Afwan tertawa. "Soalnya emang jarang tau yang diterima daftar sendiri. Makanya nggak banyak yang daftar sendiri, soalnya tau banget, anggota DPR nyari Tenaga Ahli atau aspri milih sendiri. Ada yang dari temen seperjuangan partai, karena solidaritas, Bro. Ada yang dari liat skill selama magang, bener tuh kayak Nayla. Bahkan ada yang bayar jasa karena tim sukses."
"Dan itu gue." Mbak Dini tertawa kencang. Terlihat sudah terbiasa dan menerima keadaan. Aku juga ikut tertawa karena merasa kondisinya sudah aman. Mbak Dini menatapku dan kembali melanjutkan kalimatnya. "Makanya kalau kamu ngeh, aku yang paling suka ngeluarin kata-kata motivasi buat kamu soal pandangan orang ke kita, karena aku udah kenyang, beneran. Buktiinnya emang nggak gampang kalau aku mampu, karena emang susah sih." Mbak Dini terbahak. "Tapi kalau dipikir-pikir, yaa, omongan orang tuh ada benernya. Kenapa Tenaga Ahli harus minimal S2 sementara anggotanya aja boleh 'cuma' SMA?" Dia memberi tanda kutip saat mengucap kata 'cuma'.
KAMU SEDANG MEMBACA
beyond words
ChickLitMungkin ada banyak kata sifat-dalam ribuan bahasa-untuk menjelaskan perasaan atau emosi, tapi terkadang kamu kebingungan, tak menemukan satu kata pun yang bisa mewakili. Atau ... kamu bisa menyebutnya; beyond words. Dua kata itu yang sepertinya pal...