Judul-judul 04

5.1K 754 39
                                        

"Bima, Bima, tunggu!"

Refleks dan sedikit terhuyung, aku bersyukur tidak tersungkur ketika berusaha menekan tombol membuka lift, dan pada akhirnya Mbak Dini berhasil masuk. Napas kami sepertinya sama-sama lolos lega. Aku bersyukur karena tidak terjatuh, mungkin dia bersyukur karena tidak telat masuk lift. Yang kebetulan—well, adakah kebetulan di dunia ini?—di dalamnya sekarang ini hanya kami berdua.

"Jangan lupa tolong kasih reminder Bapak, ya, Bim, materi rapat yang kemarin aku kasih. Inget nggak?"

"Oh!" Aku mengangguk. "Yang soal visitasi ke Kanwil Kemenhukam?"

"Yep, DKI Jakarta."

"Udah udah, Mbak, Bapak udah mentioned itu beberapa kali. Nanti aku ingetin lagi."

"Thanks, ya."

Aku mengangguk, menatapnya, dan tidak menahan tawa geli. "Rajin begadang, nih, kayaknya."

"Ya Allah!" serunya, lalu hembusan napas kasar terdengar. "They don't understand." Ia tertawa pelan. "Kalau ada lowongan apa gitu, mau banget dong, Bim!"

"Bukannya anggota DPR nggak kerja, yaaa? Berarti aspri dan TA-nya juga harusnya santai dong?"

Mbak Dini mengipasi wajahnya dengan wajah santai yang dibuat-buat. "Oh santai sekali kami sebagai TA. Enak, yaaaa." Dia memahami kalimat sarkasme yang aku berikan dengan baik. "Begadang nih, Waaak. Pusyiiing, boleh nggak sih ngerasa gaji nggak sesuai dengan beban?" Kami sama-sama tergelak. "Astagfirullah, Dini, harus bersyukur. Ini aku udah beberapa hari begadang ngubekin materi, revisi, repeat. Afwan sempet infusan, kamu tau, kan?"

Aku mengangguk, tersenyum geli.

"Nunggu giliran aja nih aku," katanya pelan. "Betewe, Bim." Aku kenal nada itu. Ajakan untuk membahas masalah-masalah pribadi warga negara. Khususnya yang pernah terlihat oleh mata kita. "Shella hari ini dipanggil Sekjen. Deg-degan juga nih gimana ke depannya nanti. Lagian kok bisa, ya mau sama bapak-bapak jelek gitu."

"Mbak Dini?" Aku tertawa kencang sampai sakit perut. Obrolan kami terjeda karena lift terbuka, kami melanjutkan langkah untuk ke Pujasera yang ada di area sini. Tempat favoritku untuk kabur sejenak dari realita. Makan, minum, melamun melihat orang lalu-lalang, menebak-nebak apa yang orang pikirkan. Tapi kali ini sepertinya tidak dulu, karen Mbak Dini akan bersamaku.

"Maksudnya yaaa," lanjutnya, ini masih seputar hal yang sama. "Kita semua memang butuh uang. Paham banget sepenting apa hal itu. Tapi ... kamu bisa bayangin nggak sih cewek-cewek yang—" Dia menambahkan tanda kutip dengan jari dari dua tangannya juga ekspresi serius sekali. Penghibahan ini terlihat begitu menarik perhatiannya. "—mau sama bapak-bapak gitu karena uang ... kok dia mau ya disentuh? Maksudku, Oh My God, bisa nafsu gitu?"

Aku menutup wajahku sendiri sambil menahan tawa. Aku tidak ingin menarik perhatian orang-orang di sini walaupun sebenarnya mungkin tidak ada yang tertarik juga karena sibuk dengan dirinya masing-masing. Tapi tetap saja, aku khawatir, paling tidak, staf pujasera datang membawa makanan kami.

Benar saja, Mbak Dini terpaksa harus menunda materi pentingnya, karena soto ayam kami sudah jadi. Wanginya semerbak, uap dari kuah panas masih terlihat dan terasa. Begitu menemukan potongan jeruk nipis, aku langsung menelan air liurnya.

Membayangkannya pun sudah sangat nikmat.

"Aku ya ... pernah tuh, berusaha nerima orang yang suka sama aku, karena for God's sake, kalau kita yang suka banget tuh rentan patah hatiiiii, demi Allah, and I'm sick of having my heart broken. Aku mau uwu-uwu jugaaa, tapiiiiii, nggak bisa ternyata, aku mau pegangan tangan aja kayak nggak mampu. Gimana kalau maksa nikah? Mau ciuman, seks, bisa gila gue bayanginnya."

beyond wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang