"Kak?" Aku mengangguk dan tersenyum pada salah satu penghuni kost yang sedang duduk di kursi teras—memang dikhususkan untuk bersantai, kadang juga menerima tamu.
Dia sama tersenyum lebar, kemudian bertanya, "Mau buang sampah?"
Aku tertawa pelan. "Iya, nih." Tanganku refleks sedikit terangkat, seolah ingin menunjukkan yang aku bawa benar-benar sampah yang layak dibuang.
Dari sekian banyaknya penat kehidupan, aku mengagumi bagaimana manusia masih berusaha untuk mencari secuil keindahan dengan berbasa-basi. Tidak ada yang salah dengan basa-basi, selagi kamu tahu batasan topik pembicaraan. Senyuman ramah sederhanamu bisa saja membuat hari orang lain lebih baik. Pun kalimat basa-basi tentang status pernikahan, gaji, berat badan, kadang terasa tak nyaman untuk sebagian orang. Jadi belajarlah untuk bisa berempati dan memilih. Menurutku menyapa, memberi senyum dan anggukan sudah paling tepat.
Tidak rentan kebablasan—
"Eh, Kak, Kak, nggak usah dikunci pagernya!" teriakku agak panik saat melihat ada penghuni kost yang baru saja menutup pagar.
"Kakaknya mau keluar?"
"Mau buang sampah, nanti biar aku yang kunci. Makasih, yaa."
"Okay, Kak!"
Pagar ini ibarat pintu kematian untuk anak-anak yang tinggal di kost-kost-an. Penentu kita akan baik-baik saja atau bermasalah. Itu kenapa, rasanya sangat bisa dipahami setiap pemilik kost cerewet dalam mengingatkan untuk selalu mengunci pintu pagar. Tak peduli kamu cumau keluar sebentar, buang sampah, ambil makanan, ambil paket, selalu perhatikan pagar. Aku menjadi salah satu yang lumayan parno. Jadi, meski aku cuma berjalan sebentar ke kiri untuk memasukkan sampah ke tong besar, aku tetap mengunci pagar.
Lebih baik rumit di awal daripada membereskan masalah yang tak bisa kita ukur akibatnya.
Salah satunya seperti apa yang terjadi detik berikutnya saat aku berbalik dari tong sampah. Aku melihatnya berdiri, bersandar di mobil, dan menatapku. Jalanan di daerah rumah-rumah ini—entah semuanya memang dibuat untuk disewakan atau ada rumah pribadi, aku tidak paham juga—memang lumayan besar untuk parkir mobil atau motor.
Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Aku bahkan tidak merasa terkejut dari mana dia mengetahui aku di sini. Aku benar-benar mematung berdiri, menatap balik tatapannya. Yang aku lakukan hanya tertawa dalam hati, karena melihat dia baik-baik saja secara fisik. Apa yang kamu harapkan, Bim? Seperti film-film yang kamu tonton dia akan tampil mengenaskan dan mengemis cintamu? Dia Datta. Dia senang dan harus tampil sempurna. Tidak peduli bagaimana keadaan hidupnya.
Saat kakinya melangkah, aku seketika menatap diriku sendiri yang ternyata justru diriku tampil mengerikan. Aku memakai daster yang tak peduli senyaman apa pun pembelaanku, tetap saja dia baju rumahan tersembunyi. Yang kalau bisa yang boleh melihat hanya dirimu sendiri. Bukan Datta dan keluarganya. Aku benar-benar mendefinisikan kebebasan setelah keluar dari keluarga Budiawan salah satunya dengan memakai pakaian semauku, seperti ini.
Satu langkah lagi dia sampai di depanku, aku menyentuh rambutku yang kuikat asal tetapi aku yakin aku tetap rajin merawatnya.
Untuk apa pula kamu masih memikirkan bagaimana penampilanmu di depan Datta dan tidak fokus saja terhadap masalah yang kalian hadapi?
"Hei," lirihnya, berdiri menjulang di depanku.
Aku tidak tahu kenapa aku tertawa dan entah bagaimana tawaku terdengar di telinganya. "Kok kamu masih ngenalin aku? Aku gembel banget ini."
Datta yang dulu akan tertawa, balik menggodaku habis-habisan, atau justru mengeluarkan seluruh kalimat memuji dan memujanya untuk menenangkanku. Tapi ini masa kini, bukan masa lalu, bukan dulu. Datta yang sekarang hanya menatapku dalam diam, sorot matanya terlihat begitu jauh dan tak ada sinar apa pun.

KAMU SEDANG MEMBACA
beyond words
Literatura Feminina[END] Ekstra Part di Karya Karsa Mungkin ada banyak kata sifat-dalam ribuan bahasa-untuk menjelaskan perasaan atau emosi, tapi terkadang kamu kebingungan, tak menemukan satu kata pun yang bisa mewakili. Atau ... kamu bisa menyebutnya; beyond words...