"Kamu beneran nggak mau pulang bareng aja, Bim? Nanti bisa dianter Pak Damar setelah saya sampai rumah."
"Saya naik ojek online aja, Pak, soalnya nanti beda arah. Takutnya teman saya nunggunya kelamaan."
"Yaudah kalau gitu, saya pulang duluan, yaaa. Hati-hati."
"Baik, Pak. Terima kasih."
"Jangan lupa untuk lebih teliti buat jadwal besok." Senyumnya muncul, tidak ada raut marah seperti yang aku kira. "Kesalahan boleh terjadi tapi jangan sering-sering, lagipula nggak semua orang bisa nerima kesalahan kita."
"Baik, Pak. Sekali lagi saya mohon maaf, Pak, untuk kekeliruan tadi."
Beliau menganggukkan kepala, lalu masuk ke mobil yang pintunya sudah dibukakan oleh Pak Damar. Setelah menutup pintu kembali, Pak Damar tidak langsung berjalan untuk masuk ke kursi pengemudi, melainkan menyempatkan diri menghampiriku dan berbisik. "Mbak Bima baik-baik aja?"
"Soal apa ini, Pak?" Aku tersenyum tetapi bingung bukan main. "Soal salah nerima tamu Bapak atau gimana?"
Kepalanya menggeleng. "Bukan. Di luar pekerjaan. Ada yang dirasa aneh atau menganggu? Telepon-telepon asing itu dateng lagi?"
"Oh!" Aku tertawa pelan, lalu menggelengkan kepala. "Aman, Pak. Dari yang waktu Pak Damar temui dan ternyata orang asing itu, semuanya aman." Aku memberinya ibu jari sambil tersenyum lebar. "Pak Damar terbaik."
"Itu juga karena Mas Datta." Pak Damar tersenyum, menganggukkan kepala dan pamit.
Tawa geliku lolos. Kalau saja, mungkin saja, ada pendukung terbaik untuk hubunganku dengan Datta, yang mungkin juga akan menjadi satu-satunya, itu sudah pasti Pak Damar. Aku tidak tahu bagaimana detailnya, kenapa Pak Damar begitu gencar memintaku untuk berlaku lembut pada Datta, kenapa dia tidak melarangku berhubungan dengan Datta. Alright, aku ralat sedikit kata-kataku, Pak Damar bukan akan menjadi satu-satunya. Kalau Mas Akbar tahu siapa lelaki yang bersamaku, dia pasti akan mendukung aku dan Datta seratus persen, tentu saja dengan motif yang berbeda dari Pak Damar; motif yang jahat.
Setelah memastikan mobil Pak Damar dan Bapak tak terjangkau oleh mataku, barulah aku memesan ojek online dengan tujuan ke suatu tempat yang ... bisa dibilang adalah salah satu tempat favoritku; toko pernak-pernik super lucu. Dia menyediakan banyak barang-barang dengan desain yang lucu dan sepertinya tak ditemukan di tempat lain, karena mereka klaim hasil desain sendiri. Kalau terinspirasi, mungkin iya. Barang-barang yang mereka sediakan ada banyak, seperti aksesoris tubuh, peralatan makan dari keramik yang menggemaskan, bahkan beberapa pakaian dengan desain atau motif yang menarik.
Hari ini, aku datang untuk bertanya tentang aksesoris yang aku inginkan. Bukan sepenuhnya untuk diriku; untuk Datta juga. Mungkin ini pertama kali dalam sekian banyak waktu setelah aku mengenalnya, bersamanya, aku berperan dengan sangat benar; seperti seorang kekasih, seperti seseorang yang mencintainya. Aku tidak memberikan Datta apa pun, karena aku tahu dia sudah punya segalanya—aku tidak mau menghitung tentang sesuatu yang masuk ke tubuh. Namun sekarang berbeda, aku mau memberinya sesuatu, meski aku tahu ini tak memerlukan nominal uang yang besar.
"Kak Bima, heyy!" Sambutan ramah yang tak pernah berubah dari Jessica, sang pemilik. Tak berbeda juga dengan karyawannya yang baik hati. Saking seringnya aku ke sini, aku sampai bisa berkenalan langsung dengan Jessica dan ketika aku ingin memesan sesuatu, biasanya aku akan berdiskusi dengannya. "Sini, sini, ke ruanganku aja, yaaa?"
Aku mengangguk lebar. Mengambil duduk setelah dia persilakan.
"Tadi aku udah lihat-lihat lagi, sih, Kak, contoh-contoh yang Kak Bima kirim ke WhatsApp, dan aku sempet ngobrol juga sama tim, mereka bisa. Bisa banget."
KAMU SEDANG MEMBACA
beyond words
ChickLitMungkin ada banyak kata sifat-dalam ribuan bahasa-untuk menjelaskan perasaan atau emosi, tapi terkadang kamu kebingungan, tak menemukan satu kata pun yang bisa mewakili. Atau ... kamu bisa menyebutnya; beyond words. Dua kata itu yang sepertinya pal...