"Bima? Kamu mau ke mana?"
Aku terperanjat ketika mendengar suara dan melihat Bapak di hadapanku ketika aku baru saja berhasil menutup pintu kamar. Mengelus dada pelan, aku berbalik, membelakangi pintu dan menatap Beliau sambil membungkukkan sedikit tubuh dan tersenyum profesional—aku sudah siap kembali pada realita, karena siapa aku bisa menghentikan dunia seperti mauku—padanya. "Bapak sudah siap berangkat? Saya pastikan sekali lagi ke Pak Dam—"
"Hei, saya tanya kamu mau ke mana?" tanyanya lembut tetapi sangat tegas.
Aku kebingungan mencerna kalimatnya. Ke mana bagaimana yang Beliau maksud? Bukankah ini waktunya kita berangkat ke Kompleks parlemen? Bekerja seperti yang biasa kami lakukan? Tapi sayang, pertanyaan-pertanyaan semacam itu hanya ada di kepala, karena yang diperbolehkan—aku perbolehkan—keluar dari mulutku adalah, "Kita berangkat kerja, Pak. Atau Bapak masih ada yang dibutuhin sebelum berangkat?"
"Lho lho, Pak Damar nggak bilang ke kamu kah?"
"Bilang, Pak. Tapi saya nggak bisa—"
"Kalau gitu saya yang bilang sendiri." Tatapan seriusnya membuat sedikit ngeri, tapi sebetulnya aku sudah tahu apa yang akan Beliau katakan, aku hanya ... merasa tidak bisa menerima itu. "Bim, kamu tau kamu salah satu staf berbakat, kan?"
Aku mengangguk.
"Kamu masih muda, gesit, teliti, ingatanmu bagus, kamu cepat tanggap untuk hal-hal baru yang datang, kamu harus tahu kamu kadang jadi perbincangan teman-teman saya yang bilang siap hire kamu begitu kita selesai." Pembukaan yang Beliau pilih memang sangat tepat. Pujian untuk membuat lemah lawan bicaranya. Sangat brilian. "Jadi dengan semua itu, kamu jelas tau, masa depanmu masih panjang. Kamu memangnya nggak mau bisa sampai sana? Jalani masa depanmu dengan baik, senang-senang, dan hidup lebih lama dan bermakna?"
"Pak," lirihku, tetapi kembali diam karena aku sungguh tidak memiliki kalimat untuk menangkal niatnya.
"Kamu boleh berhentiin langkah sebentar, Bim. Istirahat, tiduran, nikmati waktumu, dan berdamai. Nggak ada yang baik-baik aja kehilangan seseorang. Saya nggak akan maksa kamu buat bertemu dengan profesional, karena saya paham itu bukan hal mudah. Tapi gimana dengan menemui dirimu sendiri? Kasih waktu dirimu buat istirahat. Terus-terusan lari nggak bikin masalahmu hilang."
Aku mendongakkan pandangan dengan harapan untuk menahan air mata, tetapi sepertinya hari ini aku benar-benar sudah lelah—bahkan ini masih pagi. Karena air mataku tidak mampu lagi aku tahan, aku tetap meneteskannya.
"Istirahat sebanyak yang kamu mau. Jangan mikirin saya dan segala hal tentang administrasi, ada yang backup kamu. Ada Pak Damar, ada Ambar, saya nanti bisa minta bantuan, banyak cara. Dunia nggak tamat kalaupun kamu istirahat, Bim. Ya?"
Balasan apa yang nanti bisa aku berikan atas kebaikannya ini? Bagaimana kalau suatu saat Beliau tahu aku menusuknya dengan mencintai anaknya? Bagaimana kalau dia melihat anak sulungnya sering sembunyi-sembunyi datang ke kamarku? Bagaimana perasaannya dikhianati asisten pribadinya yang dia sayang dan banggakan?
"Kalau butuh apa-apa, bisa minta sama sama Bu Ina, sama Pak Damar, kalau ada Ibu di rumah boleh, dia pasti mau banget bantuin kamu. Atau Datta, dia kayaknya beberapa hari ini sering di rumah. Jangan merasa kamu nggak punya siapa-siapa, selalu ingat itu." Bapak mengakhiri perbincangan dengan menepuk pundakku pelan. "Semoga lekas membaik, Bima. Nanti kita hadapi dunia yang seru itu lagi."
Aku tertawa pelan, mengucapkan terima kasih sebanyak yang aku bisa. Dunia yang seru menurutnya adalah dunia di kompleks parlemen sana, aku jelas tahu maknanya.
Tapi, Pak, duniaku juga tidak kalah seru.
Setiap hari, hal-hal yang terjadi sungguh tidak bisa aku perkirakan, semuanya terjadi begitu saja dan semuanya menyita energiku. Sampai rasanya ... bolehkah aku istirahat sejenak? Seperti permintaan Bapak barusan untuk aku mengehentikan langkah dulu, bolehkah aku juga istiraha dari semawrutnya duniaku?

KAMU SEDANG MEMBACA
beyond words
Chick-Lit[END] Ekstra Part di Karya Karsa Mungkin ada banyak kata sifat-dalam ribuan bahasa-untuk menjelaskan perasaan atau emosi, tapi terkadang kamu kebingungan, tak menemukan satu kata pun yang bisa mewakili. Atau ... kamu bisa menyebutnya; beyond words...