Judul-judul 22

2.7K 473 26
                                    

Dia tertawa. "Menurutmu aku mirip mama nggak?" Shit, tidak yang satu ini, aku mohon jangan. Mungkin dia melihatku yang tidak mampu memberi respon apa pun selain tatapan ngeri, Datta melanjutkan langsung ceritanya. "She's not my biological mother, Bim." Datta ... meringis? Perlukah gestur itu? Bahkan dia sekarang sedang menggaruk belakang kepala. Mataku sudah merasa panas dan menyesal karena menanyakan hal ini. "And there's a looong story."

Siapkah aku mendengarnya?

"My mom died when I was in elementary school. Kelas ... empat?" Dia mengedikkan bahu, tersenyum yang tak bisa disebut tipis, tapi terlalu aneh untuk menyebutnya senyum lebar dan bahagia. Mengingat ... apa yang ia ceritakan. Datta, terlalu banyak hal yang kamu bawa di hidup ini. "Yang aku inget dia sakit, terus Papa akhirnya nikah lagi sama Mama—maksudku, Mama yang sekarang. Rachmayani Cantika, nama yang cantik, orangnya pun sama. Aku nggak pernah ngalamin drama ibu tiri kayak cerita-cerita itu lho, Bim. Soooo grateful, kan? Dia juga nggak sendiri, Mama sama dua anaknya, Zora dan ..." Kalimatnya terhenti, aku memandangi matanya yang terlihat mulai melamun.

"Hei." Aku menyentuh lengannya, lalu menggelengkan kepala. "Nggak perlu dipaksa cerita, aku nggak mau kamu recall memori yang nyakitin. Aku nggak mau psikolog yang sekarang jadi temenmu, abis ini, balik jadi profesional ke kamu."

Dia tertawa. "Kayaknya cuma tua aku beberapa bulan gitu sama anak pertama Mama. Aku nggak ngerasa sedih Papa nikah lagi, aku malah happy bukan main. Akhirnya punya temen seumuran, punya adik yang bisa dijailin. Seru tau, Bim. Kamu cuma bisa bayangin." Datta mencubit pipiku sambil tertawa. Jadi begini ketika dia berusaha menenangkan diri dari keadaan yang tak nyaman? Meski mungkin kejadiannya sudah lama, tapi menceritakannya pun tak kalah sulit. "Zora dulu ke aku deket banget, justru yang paling parah bully dia tuh si Aldan. Aku jadi tempat ngadunya Zora. Mungkin sampai sekarang, kalau Aldan nggak pergi, gara-gara aku."

"Ta." Kepalaku seketika kosong. Ternyata Datta jauh lebih baik dari aku dalam menenangkan orang lain di kondisi terburuk. Waktu itu, dia bisa memberi kata-kata untukku meski aku sendiri tidak terlalu ingat detailnya. Tapi sekarang, aku tidak bisa membalas budinya. "I'm sorry," lirihku sambil bergerak untuk memeluk tubuhnya.

"Mama emang nggak nyalahin aku, tapi aku tau tatapan matanya, Bim. Sekecewa apa dia ke aku. Dan aku nggak pernah berhenti nyalahin diri sendiri, setiap hari. Nggak pernah sedetik pun, bahkan sekarang, aku bisa bikin skenario kalau Aldan pergi karena takdir. Aku yang bikin takdir itu buat Aldan. Kalau dulu aku punya otak, nggak ugal-ugalan cuma karena udah dikasih izin bawa mobil sama Papa, mungkin sekarang aku punya tim buat jalanin misi menaklukkan hati Bima." Datta tertawa kecil. "I know he loved me that much, Bima. Lebih tua aku dikit, tapi dewasanya banyakan dia nggak ketimbang jumlahnya."

"Itu kenapa kamu seneng banget sama 'jalanan dan mobil dan oleng'?"

Ia menarik kepalanya sedikit, menatapku dengan mata memicing. "I don't know my woman could be this smart." Gelaknya muncul ketika aku menatapnya tajam. "Setiap lagi di jalan sendirian, aku selalu ngerasa aku seharusnya nyusul dia, seharusnya aku nggak pantes nikmatin semua ini sementara dia udah abis masanya di usia yang muda banget, Bim. Tapi aku pengecut, aku belum berani pergi. Lebih pengecut karena berkali-kali hampir ngorbanin orang lain, lagi." Dia buru-buru memasang senyum setelah jarinya berhasil mengusap matanya yang aku berani bersumpah tadi meneteskan air mata. "Aldan juga jadi sekutuku benci Papa jadi DPR. Berarti aku nggak sendiri, kan? Kalau dia masih di sini, kamu yakin bisa lawan dua orang, Bim? Yakinin dua kepala anak Budiawan kalau pekerjaan Papa tuh mulia?"

"Oh Datta, aku nggak akan mau ambil pusing soal pandanganmu ke pekerjaan Bapak. You know that."

Dia meringis, lalu mengangguk.

beyond wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang