Judul-judul 42

2.2K 374 17
                                        

Rasanya begitu sulit untuk membuka mulut dan mengatakan apa pun pada lelaki di depanku ini. Aku sudah menyusun di kepalaku selama perjalanan menuju ke sini tentang apa-apa saja kalimat yang mewakili amarahku. Amarah selama ini atau hanya ketika dia mengerjaiku dengan mengatakan bahwa Datta memberinya sejumlah uang.

Anehnya, bibirku benar-benar seperti terkunci rapat. Sejak tadi dia tiba dan duduk di kursi di depanku, aku hanya menatapnya entah bagaimana tatapan yang aku beri dan bagaimana dia memaknainya. Aku sendiri juga tidak tahu bagaimana keseluruhan ekspresiku saat ini. Yang pasti, sejak kedatangannya, minuman yang tadi sangat aku nikmati menjadi tidak aku sentuh lagi.

Mungkin nanti.

Miris, karena kondisi orang di depanku ini terlihat berbanding terbalik denganku. Bisa saja hanya perasaanku yang berusaha menempatkannya pada sisi buruk, tetapi yang terlihat di mataku jelas dia tidak merasa menyesal atau bagaimana. Satu yang pasti, dia menyadari kebohongannya sudah aku ketahui. Dengan ekspresi senyum tengil, ia meraih gelas kertas dari kopi panas yang dia pesan, meniupnya dua kali sebelum meneguknya. Setelah itu, dia menggeser gelas kertas agak ke samping, memangku tangan di atas meja, dan menatapku serius. "Kamu mau diemin Abang sampai kapan?"

Aku refleks tertawa pelan.

Kapan terakhir kali aku mendengar suara lembut dan bijaksana itu?

Kapan terakhir kali dia memberiku tatapan seteduh itu yang menjadi salah satu hal paling aku kagumi darinya sebagai satu-satunya keluarga yang aku punya?

Kapan terakhir dia berbicara denganku selain tentang uang?

Kapan terakhir kali ... aku bahkan tidak ingat kapan semua ini bermula, begitu pun ketika sudah berakhir—kalau benar berakhir.

"Kenapa Abang bohong?" Setelah sekian lama diam, ternyata aku hanya mampu mengeluarkan kata yang kemudian aku sesali karena merasa konyol. Pertanyaan melankolis yang tidak akan menyentuh hatinya.

"Bohong apa?"

Oh, ini kabar baru untukku. Dia tidak menertawakan pertanyaan itu, dia tidak mengibaskan tangan karena menganggap topik obrolan kami tidak menarik—selain uang, hal di dunia ini tak pernah menarik untuknya, sejauh ini yang aku ingat ketika dia sudah berubah menjadi sosok yang tak aku kenal.

"Abang pengen lihat gimana kamu mandang Abang dan ternyata bener. Sejelek itu." Dia tertawa miris. "Padahal dulu kamu bilang kamu fans terberat Abang."

"Menurut Abang aku harus gimana?"

Melihat keningnya berkerut, aku asumsikan dia sungguh meninggalkan semua isi kepalanya ketika datang ke sini dan menyisakan kepolosan yang luar biasa suci. Jadi, aku tidak keberatan untuk menulis ulang semuanya agar dia kembali mengingat betapa dia tak berhak berharap banyak dariku, tentang perasaanku, tentang bagaimana aku memandangnya sekarang.

Aku menarik napas dalam-dalam dan siap mengeluarkan semua isi hati. "Beberapa tahun terakhir, Abang inget pernah nanya gimana kabarku? Abang inget pernah nanya gimana pekerjaanku? Gimana bosku memperlakukanku? Gimana lingkungan kerjaku? Apa aku lembur, apa aku capek, apa aku bahagia di pekerjaanku, apa aku punya tempat cerita, apa aku kangen Papa-Mama, apa aku butuh Abang? Pernah nggak?" Aku mulai menyesali menentukan tempat umum untuk bertemu dengan Abang, karena sekarang dadaku begitu sesak tetap berusaha menahan volume suara dan mata agar tidak menangis.

Aku buru-buru mengalihkan pandangan keluar jendela kaca cafe, melihat bangunan lain dan beberapa orang berlalu-lalang. Aku tidak ingin mendengar alasannya. Apa pun itu. Alasan apa pun yang akan dikeluarkan dari mulutnya tidak akan bisa mengurangi rasa sakit dan kecewaku padanya, rasa lelahku menjalani hidup ini sendirian.

beyond wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang