Tetapi perasaan ketakutanku segera sirna ketika aku sudah sampai di dalam rumah dan tidak menemukan Datta di sekitar. Aku juga tidak melihat adanya Eyang. Yang aku temukan hanya Mbak Ria yang juga tidak mengetahui keberadaan mereka. Jadi, aku merasa sudah aman untuk berjalan ke kamar inapku di sini, lalu memutuskan bersiap-siap; memasukkan barang-barangku yang memang tak banyak ke dalam tas.
Aku sudah menenteng tas, berdiri kaku menatap sekitar kamar ini. Tidak, kamar ini tidak memberi pengalaman apa pun, tidak membuatku sulit meninggalkannya, tidak ada yang terjadi di sini, tetapi entah kenapa rasanya begitu berat, menyakitkan untuk melangkahkan kaki keluar pintu. Karena aku tahu, satu langkah nanti, aku tidak akan pernah bisa kembali. Aku menyetujui Datta.
Menurutinya untuk menghilang dari kehidupannya.
Namun, aku sebenarnya masih punya satu harapan, satu-satunya di saat ini, yaitu bantuan Eyang. Aku yakin Eyang dan rumah ini bukan semata hanya menjadi tempat pelarian Datta. Kalau Datta hanya ingin tempat persembunyian, dia bisa menjadikan banyak tempat lain di sudut bumi mana pun. Dia memilih Eyang dan rumahnya, bukan hanya rumah Eyang. Jadi, aku masih bisa bertahan kalau Eyang membantuku.
Aku menganggukkan kepala dan mengembuskan napas, merasa yakin aku masih bisa mengatasi ini. Keluar kamar sambil membawa tas, harapanku terkabul, ada Eyang di sana, juga Datta. Ketika melihat Eyang menganggukkan kepala sambil memintaku mendekat, aku merasa gugup meski juga lega karena aku tah—
"Dianterin Kang Mahmud aja pulangnya, ya? Nggak usah naik kereta."
—Eyang tak bisa menolongku.
Dia tentu saja ada di pihak cucunya. Dia tentu saja memahami apa yang diinginkan Datta. Mereka berdua tadi menghilang mungkin sedang membicarakan ini dan sekarang kompak mengusirku dari kehidupan mereka. Aku tidak bisa menahan tawa mirisku, berusaha untuk tidak menangis atau pun terlihat marah. Aku harus sadar posisiku siapa. Sejak awal aku adalah pekerja di keluarga ini. Sejak awal aku tidak memiliki kekuatan apa-apa untuk mempertahankan posisi, apalagi bergeser sesuka hati.
"Umm, Eyang makasih banyak." Aku tersenyum lebar, berusaha untuk tidak mencari kesempatan melirik Datta yang sejak tadi hanya duduk diam, tidak bersuara apa pun. "Tapi aku udah sama temen, dia sekalian mau ke Jakarta."
"Temenmu jemput ke sini?"
"Oh enggak, kita ketemuan. Dia udah kirim alamatnya, aku pesen taksi online ke sana."
"Ke sananya dianter Kang Mahmud aja gimana? Ke tempat janjian sama temenmu."
"Udah pesen kok, Eyang. Cuma dia lagi macet tadi terakhir bilang driver-nya."
Eyang tak menjawab lagi, dia hanya memandangiku entah apa yang dipikirkan. Sebesar apa pun rasa canggungku sekarang, aku tetap berusaha menarik sudut bibir untuk tersenyum, lalu tiba-tiba aku merasakan pelukan hangat. Eyang mengelus-elus punggungku dan berkata, "Maafin Eyang, ya? Maafin Eyang nggak bisa bantu apa-apa. Maafin Datta karena udah nggak bisa berjuang lagi. Maafin dia yang menyerah. Dia bukan menyerang sama Nak Bima, dia menyerah sama hidupnya sendiri. Eyang udah nggak bisa yakinin dia lagi, Bim."
Hah, aku mengembuskan napas sambil tersenyum. Buru-buru menghapus mata yang terasa berair. Aku tahu Eyang memang tidak bisa melihat wajahku, tetapi di sana ada Datta yang meskipun dia juga tak melihat ke arahku sama sekali, sedang sibuk dengan ponselnya. "Nggak pa-pa, Eyang. Aku paham kok. Lagian aku sama Datta juga nggak sejauh itu." Seribu persen, aku yakin Datta mendengar ini, aku melihat matanya sempat melirikku sebelum akhirnya kembali pada ponsel di depannya. Pelukan kami terlepas, aku memberi Eyang senyuman manis. "Aku minta maaf karena terlena sama situasi ya, Eyang, aku harusnya fokus bantu Bapak."
Eyang tidak menjawab apa-apa lagi, hanya mengangguk-anggukkan kepala sembari tangannya mengelus lenganku. Mungkin dia heran dengan jawabanku, mungkin dia kecewa karena menganggap aku anak baik hati yang mencintai cucunya ternyata hanya perempuan asing yang kebetulan menikmati suasana—setidaknya itu maksud dari kalimatku.
KAMU SEDANG MEMBACA
beyond words
ChickLitMungkin ada banyak kata sifat-dalam ribuan bahasa-untuk menjelaskan perasaan atau emosi, tapi terkadang kamu kebingungan, tak menemukan satu kata pun yang bisa mewakili. Atau ... kamu bisa menyebutnya; beyond words. Dua kata itu yang sepertinya pal...