Judul-judul 34

2.1K 389 23
                                        

Tidak.

Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Tidak mampu menahan beberapa hari untuk menggenapinya menjadi delapan hari, sembilan hari, atau bahkan dua minggu dan dua bulan. Satu minggu sudah cukup lama, terlalu lama untuk membiarkannya begini saja. Aku mau mencari Datta, aku mau menemukannya, karena aku tidak bisa menghubunginya.

Satu-satunya yang bisa membantuku saat ini adalah Pak Damar. Jadi, aku mau memanfaatkan waktu ini ketika Bapak sedang ke toilet dan memintaku untuk ke mobil lebih dulu menemui Pak Damar. Namun, sejak beberapa menit berdiri di sebelah Pak Damar, mulutku masih terkatup rapat. Kami hanya mengobrol basa-basi tentang pekerjaan atau siapa saja yang lewat, termasuk beberapa di antaranya teman Bapak.

Ada yang lebih penting dari semua itu, Pak.

"P-Pak Damar?"

Kepalanya yang tadi tertunduk seketika terangkat. "Ya, Mbak?"

Aku menatapnya tetapi belum kembali membuka mulut dan aku begitu yakin dengan bagaimana wajahku sekarang. Semua pasti terlihat. Mustahil Pak Damar tidak menyadari ada yang tidak beres denganku. Dia orang hebat, dia pasti paham. Pertanyaannya, kenapa dia tidak memulainya dan hanya diam seolah menantiku yang bergerak lebih dulu?

"Bapak ... kapan terakhir kali ngobrol sama Datta?"

"Ngobrol langsung atau lewat telepon, Mbak?"

"Dua-duanya."

"Kalau ngobrol langsung, sekitar ... seminggu yang lalu?" Itu ... bukankah waktu yang sama di mana aku dan Datta untuk kali pertama membahas tentang masa lalunya dan keluarganya? "Enam atau lima hari lalu, agak kurang yakin. Kenapa, Mbak Bima? Ada masalah?"

"Bapak beneran nggak tahu masalahnya atau Bapak nunggu aku cerita dan ngaku?"

Dia diam, menatapku.

Aku membuang pandangan untuk menghindarinya melihat air mataku yang menetes. Cepat-cepat aku mengelapnya sebelum kembali menatap berani Pak Damar di depanku. "Datta menghilang, Pak. Terakhir kami ketemu weekend kemarin setelah ultahnya. Senin pagi aku balik dan dia masih kirim chat buat mastiin aku sampai kantor. Setelahnya dia nggak bales lagi, nggak bisa ditelepon, dan ... aku selama ini nolak dikasih akses buat ke apartemennya."

"Dia sempet bilang kalau dia butuh waktu semacam itu?"

Aku menggeleng dengan yakin.

Karena aku tidak ingat ada kata-kata meminta waktu dari Datta. Aku tahu dan memahami bahwa ada yang berbeda setelah obrolan panjang dan menguras energi kami malam itu, tetapi Datta tidak terlihat berusaha menghindar atau meminta waktu. Kami masih tidur dengan dia memelukku dan sebelum benar-benar terlelap, aku masih mendengar bisikannya bahwa dia mencintaiku, dia terus meminta maaf karena menjadi manusia buruk.

Aku tidak mendengar atau melihat tanda-tanda dia ingin jarak dariku.

Hingga kemudian dia menghilang, satu hari, dua haru, dan sekarang sudah cukup, aku menghitungnya selama satu minggu. Hari ini, setelah Bapak diantar pulang oleh Pak Damar, aku sudah menyusun rencana untuk—

"Ayok, pulang. Lama, yaaa?" Bapak datang dengan wajah semringahnya. "Ketemu Pak Haidar tadi, inget nggak. Bim?"

Aku tersenyum dan mengangguk.

"Yang kalau udah ngobrol, nggak mau udahan, untung tadi saya bisa izin kabur, kalau enggak ini tiba-tiba udah dibawa ke lapangan golf."

Aku dan Pak Damar ikut tertawa, meski dalam hatiku carut-marut. Entah bagaimana caranya mengatakan kegelisahan ini pada Bapak. Apakah lebih baik mengaku dan bertanya keberadaan Datta atau memendamnya sendiri. Karena dari apa yang aku lihat, Bapak terlihat baik-baik saja. Dia tidak pernah menyinggung Datta di mana atau seperti apa.

beyond wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang