Dulu, doanya kencang sekali, lebih terlihat seperti memaksa Tuhan untuk menuruti keinginan sendiri. Dalihnya pun beragam, karena ingin membantu keluarga, orang lain yang membutuhkan, dan paling penting, membantu memenuhi kebutuhan diri sendiri.
Hebatnya, manusia ini sering kali merasa seolah perwakilan Tuhan di dunia ini, bisa melakukan apa pun, termasuk memupuk rasa sombong. Karena begitu Tuhan benar-benar memberinya pekerjaan, tanpa merasa berterima kasih, malah doanya diubah kembali, menginginkan pekerjaan seperti orang lain, yang dilihatnya lebih menyenangkan. Entah dari media sosial yang dia lihat atau dari bayangan yang dia ciptakan sendiri.
Manusia itu ... adalah diriku sendiri.
Aku sedang menjabarkan bagaimana tidak tahu bersyukurnya diriku ini.
Aku sendiri yang mengirimkan CV, aku yang melakukan wawancara dengan Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat (Sekjen DPR), aku juga mengikuti wawancara langsung dengan Bapak—Hasan Budiawan, anggota DPR, dari fraksi PNI—lalu dinyatakan lolos dan hari-hariku diisi dengan dunia perpolitikan.
Banyak hal yang menyenangkan, aku tidak akan menampik itu. Orang-orang yang melihat pun sering kali memujiku beruntung, bisa bekerja dengan pakaian rapi dan sopan, masuk ke area yang terkenal yaitu kompleks parlemen, bertemu dengan banyak politikus dan orang-orang penting dari pemerintahan.
Tapi memang tak ada yang sempurna.
Dari semua itu, aku tetap merasa iri dengan teman seperjuanganku—seharusnya. Di saat aku bekerja di sini dengan semua drama rumah tangga Bapak juga menjadi ranahku, Mbak Ambar, asisten pribadi Bapak lainnya, ditugaskan di daerah pilihan Bapak, Jawa Timur I. Aku tahu tidak ada pekerjaan mudah, tapi mungkin, mungkin saja, kalau aku yang ada di sana, aku tidak akan terlibat dengan rumah tangga Bapak, tidak akan mengenal Datta dan semua drama hidupnya.
Hidup kami.
Sekarang, aku tetap harus memaksa diri turun dari kasur untuk bersiap-siap berangkat kerja.
"Ini yang buat Bapak, Mbak Bima." Bu Ina, ART di rumah ini, menunjuk piring berisi salmon asap dan bayam, ementara di mangkuk kecil lain berisi oatmeal. Menu sarapan pesananku untuk Bapak, yang aman untuk penderita kolesterol. Biasanya roti gandum dengan alpukat, tapi aku yakin pagi ini beliau akan komplain jika melihat itu lagi, dengan tawa khasnya itu.
"Terima kasih, Bu." Aku ikut menyusun piring di meja makan, maksudku, untuk Bapak. Sementara Bu Ina menyiapkan untuk seisi rumah. "Menunya banyak, Bu, hari ini." Aku tersenyum lebar.
Bu Ina ikut tertawa. "Iya, Ibu kangen beberapa masakan ini. Di Swiss nggak ada katanya."
"Di Swiss adanya apa, ya, Bu?"
"Pemandangan yang Masya Allah dan pengeluaran yang Masya Allah juga."
Kami sama-sama tertawa.
Fakta yang harus kami terima pagi ini, di tengah pekerjaan kami yang mungkin tidak mudah, kita harus menerima fakta bahwa ada orang lain yang memang bahagia hidupnya. Seperti Ibu Rahmayani Cantika, istri dari Bapak, yang baru pulang dari liburannya; Swiss.
"Udah siap semua, Bu?" Suara lembut terdengar, ditambah dengan wangi semerbak. Aku melihat Ibu sudah mengenakan pakaian rumahan, terlihat segar dan wangi, ikut membantu menggeser makanan di meja, sana-sini. "Tidur nyenyak, Bim?"
Aku tertawa pelan. "Sedikit."
"Oleh-oleh dari saya suka?"
"Suka, Bu, alhamdulillah. Makasih banyak, yaaa."
Beliau mengangguk. "Bu Ina suka oleh-olehnya?"
"Suka, Bu. Terima kasih banyak." Bu Ina menatap semua makanan yang sudah siap di meja. "Semuanya sudah siap, Bu. Mbak Zora dan Mas Datta mau saya panggil?"
KAMU SEDANG MEMBACA
beyond words
Romanzi rosa / ChickLitMungkin ada banyak kata sifat-dalam ribuan bahasa-untuk menjelaskan perasaan atau emosi, tapi terkadang kamu kebingungan, tak menemukan satu kata pun yang bisa mewakili. Atau ... kamu bisa menyebutnya; beyond words. Dua kata itu yang sepertinya pal...