Judul-judul 24

2.9K 443 22
                                        

Langkahku sudah tidak keruan seberapa lebarnya, ketika taksi yang aku tumpangi sudah berhasil berhenti di depan lobby. Menyelesaikan pembayaran, aku langsung mengeluarkan ponsel dan menghubungi Datta bahwa aku sudah sampai di tempat yang dia bagikan lewat WhatsApp. Yang menarik dari hari ini adalah ... sebuah keajaiban Datta tidak memaksa untuk menjemputku. Bahkan tidak bertanya atau menawari lebih dulu, yang dia kirim langsung alamat di mana kami akan melakukan obrolan panjang.

Gedung apartemen.

Tentu saja, ini Datta.

Dia bukan manusia normal, otaknya belum dilakukan pembedahan besar-besaran sehingga bisa bekerja seperti otak Pak Damar, Bapak, Ibu, Zora, bahkan aku. Alright, untuk yang terakhir, aku, sepertinya harus disingkirkan dari daftar, karena aku merasa sesungguhnya aku tak jauh berbeda dengan Datta. Karena apa alasan paling masuk akal kedatanganku ke sini tanpa paksaan? Aku yang mau, jadi aku tak berbeda dengannya.

"Astaga! Ya Allah, Datta!" Jantungku benar-benar nyaris hilang ketika aku mengangkat pandangan dari ponsel. Dia sudah berdiri menjulang di depanku, tersenyum lebar dan melambai-lambaikan ponselnya. "Cepet banget," komentarku abu-abua karena tidak yakin betul apa yang cepat.

Hebatnya, laki-laki ini tetap memiliki banyak kelebihan, salah satunya adalah memahami kalimatku dengan baik. Bahkan tanpa perlu bertanya ulang untuk penjelasan lebih lanjut. "Aku tadi udah nunggu di sana, harusnya aku biarin dulu agak lama. Liat kamu nyari-nyari aku muka bingung gitu lucu tau. Berasa dibutuhin, diharepin, manis."

"Ha!" Aku melihat sekitar, orang-orang yang berlalu-lalang, kemudian menatap Datta untuk meyakinkan satu hal. Sekali lagi, aku janji ini percobaan terakhir. "Serius? Di sini? Nggak takut akan ada banyak distraksi?"

"What distraction? Aku aman aja sih ngobrol di tempat tinggalku sendiri."

"Of course you are—wait, tempat tinggal? Ta?"

Senyumannya belum pernah terasa selebar ini—kalimatku jelas bukan bermaksa sebenarnya. Aku tidak jarang melihat Datta tersenyum memamerkan giginya. Yang aku maksud adalah ... lupakan, karena sekarang kami sedang menaiki lift, aku sebagai tamu yang siap menerima new apartment tour dari pemiliknya. Ketika dia membuka pintu, mempersilakanku masuk, mataku tak bisa memberi jeda untuk menilai tiap sudut yang nampak. Tak ada yang mencolok sehingga menarik penilain berarti, semuanya terlihat normal dihuni oleh lelaki yang monoton. Semuanya standar. Sofa, lemari hias yang berisi maianannya, dan barang-barang rumah pada umumnya. Warna yang terlihat juga netral semua; putih, cream, hitam, ada abu-abu.

Aku duduk di sofa menatapnya serius. "Kamu beneran pindah ke sini?"

"Yes."

"Kapan? Kenapa aku ngerasa kita udah nggak ketemu ribuan hari, banyak hal yang aku nggak tahu."

Dia tersenyum geli. "Atau emang sebenernya kamu tuh perlu evaluasi atas dirimu sendiri, Bim. Kamu nyaris nggak nyariin aku, nggak tanya kabarku, apa yang terjadi di satu hari itu. Satu hari ada 24 jam, Bim, itu bisa buat perjalanan ke Amerika. Kamu masih bersyukur ini nggak tiba-tiba aku kirim foto lagi di depan patung Liberty. Aku masih di Jakarta."

Aku mengatupkan bibir, menatapnya lelah.

"What?" tanyanya, dengan wajah polos. "Kamu kamu denger cerita kenapa aku pindah? Apa sih tadi? Emang detail kehidupanku masih menarik ya buat kamu?"

"Berapa umurmu?"

"Berapa umurmu?" Dia tertawa sembari mencondongkan tubuh untuk mengecup bibirku. "Aku udah nyusun rencana yang lumayan besar, no no, nggak lumayan, it's a BIG plan. For us. Boleh nggak sih kalau aku lakuin sesuatu yang menurutku baik dan kamu nggak marah?"

beyond wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang