"Bisa nggak sih ini agak jauhan dikit?"
"Nggak bisa, aku kangen kamu banget."
"Terus kalau nanti ini digrebek gimana?"
"What the hell, Bim! Kamu bilang ini kost boleh cewek-cowok, atau ini emang tempat abal-abal langganan satpol pp nugas?"
Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak berlebihan dalam tertawa, karena biar bagaimana pun, di sebelah kanan-kiriku ada penghuni kost lainnya. Biarpun pembatas kami adalah tembok, tetapi aku sendiri pun kadang masih bisa mendengar suara kehidupan di sebelah. Entah suara decitan barang, musik, suara obrolan, bahkan pernah desahan. Geeezzz!
Jadi, aku tidak mau mengganggu mereka dengan suara tawaku di tengah malam seperti ini. Tapi apa yang bisa aku lakukan? Menyesal pun rasanya percuma. Karena sejak mengiyakan permintaannya untuk menginap di sini, aku seharusnya sudah tahu aku tidak akan bisa tidur dengan nyenyak. Alright, memang tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan—jujur saja, untuk yang satu ini aku begitu salut dengan Datta dan penasaran bagaimana dia bisa melakukannya, menahan dirinya—tetapi dia melakukan hal lain yang sebenarnya sama saja, menggangguku.
Aku memesan kamar untuk single yang artinya ranjang yang disediakan memang nyamannya untuk tidur sendirian. Untuk itu, aku memberi Datta bed cover sebagai alas tidur dengan harapan dia bisa sedikit lebih nyaman dibanding langsung tidur hanya di atas karpet. Awalnya semua berjalan baik, dia tidur di bawah, posisi miring, menghadapku, karena aku justru tidak bisa tidur, aku memutuskan berbalik badan, menghadap tembok. Tahu apa yang dia lakukan? Tiba-tiba aku merasakan berat tubuh manusia menghimpitku, memaksa untuk berbagi tempat. Berbagai cara aku coba untuk membuatnya kembali ke tempatnya, dia membuat kami bertahan dengan posisi miring ini.
God, please!
"Oh God! Aku kangen kamu banget, Bim," bisiknya sambil menghirup rambut belakangku. Aku yang tadinya sudah nyaris hilang kesadaran dan beralih ke mimpi, seketika kesadaranku kembali pulih. Menarik napas dalam-dalam, aku memberitahu diriku sendiri di dalam hati bahwa aku harus menerima kemungkinan tidak akan tidur sampai pagi. "Aku nggak mau ngalamin kayak kemarin lagi. Aku nggak mau harus jahat ke kamu, pisahan sama kamu. Aku nggak mau bertindak gegabah yang bikin orang-orang yang aku sayang menderita. Aku nggak mau ngasih makan ego tapi rugi di akhir."
Senyumku terbit. Syukurlah kalau dia benar-benar sudah bisa menyadari semuanya, menerima semua yang terjadi. Tidak sibuk menyalahkan diri sendiri sampai rela melakukan apa pun tanpa peduli kalau justru akan menambah masalah. Syukurlah kalau sekarang dia bisa berpikir dengan jernih. Syukurlah kalau dia tahu bertindak gegabah demi memuaskan egonya tidak akan menyelesaikan masalah, sebaliknya, dia akan membawamu ke masalah lain di kemudian hari.
Aku mengelus tangannya yang melingkari tubuhku.
Dia sadar, kemudian semakin mengeratkan pelukannya.
"Ta ..."
"Hm?"
"Gimana caranya kamu ngelakuin itu?"
"Lakuin apa?"
Aku tertawa geli sebelum menjelaskan. "Semua ini. Jalanin hubungan sama aku tanpa ngelakuin seks, tiduran kayak gini ... emang nggak ngaruh apa-apa ke kamu?"
"Damn!" Pelukannya seketika dilepas.
Menyadari itu aku tertawa dan dengan hati-hati mengubah posisi menghadap menjadi ke arahnya dan melihatnya yang sudah telentang, dengan kedua tangan sebagai bantalan kepala. Ranjang ini milikku tetapi aku yang terlihat paling tidak nyaman tidur di sini dan dia baik-baik saja. Jenis kesialan apa yang aku alami malam ini. Tapi anehnya, aku tahu aku mau ini, aku menikmati ini, buktinya aku tidak mengeluarkan kalimat apa pun untuk mengusirnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/350226199-288-k395882.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
beyond words
ChickLit[END] Ekstra Part di Karya Karsa Mungkin ada banyak kata sifat-dalam ribuan bahasa-untuk menjelaskan perasaan atau emosi, tapi terkadang kamu kebingungan, tak menemukan satu kata pun yang bisa mewakili. Atau ... kamu bisa menyebutnya; beyond words...